Pelajaran yang Bisa Diambil Dari Metode Al-Qur’an Dalam Memperbaiki Tatanan Masyarakat
Pelajaran yang Bisa Diambil Dari Metode Al-Qur’an Dalam Memperbaiki Tatanan Masyarakat
Di sini kita akan menjabarkan pada sebagian pelajaran yang bisa diambil dari metode Al-Qur’an dalam memperbaiki tatanan masyarakat dan memberi petunjuk kepada mereka:
1- Pemusatan perhatian pada sisi penelitian sebab-sebabnya lebih banyak dari pada akibat-akibatnya dalam mengatasi suatu kondisi tertentu , dan cara itu sangatlah penting dan urgen sekali. Jikalau seorang yang sakit merujuk kepada dokter dan menjelaskan kepadanya mengenai derita yang dialaminya karena penyakitnya, maka yang lebih penting dilakukan oleh dokter adalah meneliti dan menentukan dengan tepat sebab dari penyakit tersebut dan mengambil solusinya berupa obat untuk menyembuhkan penyakitnya, sedangkan jikalau mencukupkan pada tataran penyembuhan rasa sakit dan derita seperti rasa sakit pada kepala, atau perut, atau panasnya suhu badan, tanpa meneliti dan mencari tahu sebab awal penyakit tersebut, maka hal itu merupakan suatu kesalahan dalam berpikir.
Misalnya jikalau seseorang menginginkan untuk mengatasi permasalahan budaya bersolek yang ditampilkan di depan khalayak, atau kecenderungan pemuda dan pemudi dan budaya mereka yang selalu mengikuti budaya barat, atau dari permasalahan orang -orang yang tidak mau membayar khumus dan menegakkan salat, atau kebiasaan masyarakat dalam kefasadan seperti meminum khamr atau kebiasaan liwat, atau secara umum bisa dikatakan bahwa masyarakat jauh dari pelaksanaan syariat Allah Swt, dan kesengajaan mereka dalam menyimpang dari syariat tersebut, maka tidak cukup hanya dikatakan kepada mereka bahwa ini wajib harus dilakukan, dan yang itu adalah haram maka wajib ditinggalkan, karena mereka sendiri adalah orang-orang muslim yang secara umum telah mengetahui akan perkara yang halal dan haram, oleh sebab itu harus dicari sebab-sebab inti dari lemahnya mereka dalam berpegang teguh kepada agama, karena sebenarnya kekuatan dalam berpegang teguh pada agama adalah pendorong utama untuk melaksanakan syariat dan selanjutnya bisa menjadi solusi untuk mengatasi permasalahan masyarakat. Lemahnya dalam berpegang teguh pada agama sebabnya ada pada sisi akhlak dan akidah itu sendiri yang ada di tengah-tengah masyarakat, oleh sebab itulah Al-Qur’an memusatkan perhatiannya di Mekah – yakni dia awal-awal turunnya Al-Qur’an – pada dua sisi yang penting ini yakni akhlak dan akidah. Dengan jalan penjelasan lengkap konsep akidah dan menguatkannya dengan argumentasi yang bermacam-macam, dan pada intinya argumentasi yang penting dan bermanfaat adalah dapat mengungkap dan menyingkap sesuatu yang terpendam dari fitrah mereka, karena fitrah adalah dalil yang wijdāni (yang bisa dirasakan sendiri) dan terdapat di dalam batin setiap manusia, begitu juga tak ada seorang pun yang mampu mengingkarinya serta lari menghindarinya. Yang penting untuk membangkitkan fitrah tersebut adalah dengan menunjukkan kepada mereka bukti-bukti dan peringatan mengenai dahsyatnya hari kiamat, begitu juga penjelasan mengenai sunatullah yang berlangsung pada umat-umat sebelumnya, serta memperlihatkan kepada mereka bukti-bukti melalui nasihat dan pengambilan pelajaran dari kisah umat-umat sebelumnya, sehingga akal mereka bisa bangun dari tidurnya, hati mereka bisa bersih dan bersinar, setelah itulah taklif ahkam dan syariat bisa disampaikan kepada mereka untuk dikerjakan, maka dari itu dorongan untuk menerima dan mengamalkan ahkam dan syariat tersebut menjadi suka rela bagi mereka. Kita mengetahui bahwa waktu yang dihabiskan oleh Rasul saww di mekkah dalam berdakwah banyak sekali yang berkenaan dengan kedua sisi tersebut (akidah dan akhlak) daripada di Madinah, dari sana pulalah bisa dipahami bahwa poin penting pada pencarian sebab-sebab harus lebih banyak diperhatikan dibandingkan pada sisi akibat-akibatnya.
2- Lalu kita menginjak pada pembahasan pelajaran kedua yang bisa diambil dari metode Al-Qur’an untuk menata masyarakat, dan hal itu adalah urgensitas membangun dimensi akhlak dan akidah untuk menguatkan kepribadian seorang muslim. Al-Qur’an dalam membangun dimensi ini menyandarkan pada beberapa metode yang telah saya sebutkan di dalam pelajaran (Falnarji’ Ila Allah) dan kita katakan di sana bahwa: Manusia berjalan dan menempuh pada tiga alam dalam kehidupannya, yakni (akal, hati, ruh), dengan ketiga hal itu manusia bisa memahami adanya hubungan antara tidak turunnya keberkahan dari langit, terhalangnya kebaikan dari bumi, sering tertimpa keburukan, tidak dikabulkannya doa, lalu ketiga hal itu pulalah yang bisa memahami sebab-sebab dari keburukan yang terjadi yakni karena umat manusia jauh dari syariat Allah Swt dan meninggalkan kewajiban mengajak kepada yang makruf dan mencegah dari yang mungkar, maka dari itu barang siapa yang ingin keluar dari keburukan tadi wajib baginya untuk melaksanakan tugas penting tersebut, seperti yang disebutkan di dalam riwayat :
)) إذا تركتم الأمر بالمعروف والنهي عن المنكر نزعت عنكم البركات ونزلت عليكم البليّات وسلطت عليكم شراركم ثم تدعون فلا يستجاب لكم((
((Jikalau kalian meninggalkan amar makruf nahi munkar akan dicabut dari kalian semua keberkahan, akan datang pada kalian bencana, dan kalian diliputi dengan keburukan, dan tertolak doa-doa kalian semua))[1].
Yang lebih utama dari metode Al-Qur’an dalam hal ini adalah menunjukkan bukti-bukti keterasingan jiwa di hari kematian dan kedahsyatan bencana hari kiamat, begitu juga kejadian mengenai percakapan orang-orang kafir dan fasik di neraka dengan para setan dan iblis, serta peringatan kepada mereka mengenai sunatullah Swt, seperti kisah umat-umat yang terdahulu yang menyimpang dari ketaatan, seperti yang difirmankan-Nya :
}دَمَّرَ اللَّهُ عَلَيْهِمْ وَلِلْكَافِرِينَ أَمْثَالُهَا{
{Allah telah membinasakan mereka, dan bagi orang-orang kafir akan menerima (nasib) yang serupa itu} (Muhammad: 10),
}فَأَخَذَهُمُ اللّهُ بِذُنُوبِهِمْ وَاللّهُ شَدِيدُ الْعِقَابِ{
{maka Allah menyiksa mereka disebabkan dosa-dosanya. Allah sangat berat hukuman-Nya} (Ali-Imran: 11), kemudian Al-Qur’an menjelaskan besarnya dan banyaknya kenikmatan dari Allah Swt yang dicurahkan kepada hamba-hamba-Nya yang tak terhitung jumlahnya dengan disertai pengakuan mereka terhadap hakikat fitrah yang terpendam pada jiwa manusia:
}هَلْ جَزَاء الإِحْسَانِ إِلا الإِحْسَانُ{
{Tidak ada balasan untuk kebaikan selain kebaikan (pula)} (Ar-Rahman: 60),
Kemudian juga menjelaskan mengenai kebahagiaan yang akan dirasakan hati manusia dan dalam kehidupannya begitu juga kebahagiaan masyarakatnya, jikalau mereka melaksanakan syariat Allah Swt, seperti dalam firman-Nya:
}وَلَوْ أَنَّ أَهْلَ الْقُرَى آمَنُواْ وَاتَّقَواْ لَفَتَحْنَا عَلَيْهِم بَرَكَاتٍ مِّنَ السَّمَاء وَالأَرْضِ{
{Dan sekiranya penduduk negeri beriman dan bertakwa, pasti Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi} (Al-A’raf: 96).
Sesungguhnya akidah dan akhlaklah yang bisa menentukan sebuah tujuan kehidupan manusia, oleh sebab itu keduanyalah yang mengarahkan petunjuk jalan kehidupannya, misalnya jikalau seseorang ingin memberikan kebaikan atau Sedekah di jalan kebaikan untuk membantu orang-orang yang membutuhkan, maka mana dari dua tipikal manusia yang bisa lebih cepat untuk terpanggil melakukan kebaikan tersebut: orang mukmin yang menginginkan keridaan Allah Swt, dan menginginkan pahala dari-Nya, atau orang yang jauh dari agama yang memiliki tujuan lain, yang terpenting baginya adalah tujuan untuk menambah kenikmatan dunia, {قَدْ يَئِسُوا مِنَ الآخِرَةِ كَمَا يَئِسَ الْكُفَّارُ مِنْ أَصْحَابِ الْقُبُورِ} {sungguh, mereka telah putus asa terhadap akhirat sebagaimana orang-orang kafir yang telah berada dalam kubur juga berputus asa} (Al-Mumtahanah: 13),
Maka yang lebih cepat untuk terpanggil hatinya untuk berpartisipasi dalam amal kebaikan adalah tipikal yang pertama. Itulah yang bisa kita lihat secara zahir pengaruh dari akidah dan akhlak yang bisa mendorong manusia untuk melaksanakan kebaikan, maka orang-orang mukmin memiliki satu tujuan yakni keridaan Allah Swt, dan mereka termasuk dari ahli akhirat, dan bukanlah dari hamba dunia, sedangkan banyak umat yang tergelincir dan tersesatkan karena mereka kehilangan tujuan kehidupan yang sesungguhnya, maka hasilnya mereka terpecah belah pada jalan mereka masing-masing, Allah Swt berfirman :
}وَأَنَّ هَذَا صِرَاطِي مُسْتَقِيماً فَاتَّبِعُوهُ وَلاَ تَتَّبِعُواْ السُّبُلَ فَتَفَرَّقَ بِكُمْ عَن سَبِيلِهِ ذَلِكُمْ وَصَّاكُم بِهِ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ{
{Dan sungguh, inilah jalan-Ku yang lurus. Maka ikutilah! Jangan kamu ikuti jalan-jalan (yang lain) yang akan mencerai-beraikan kamu dari jalan-Nya. Demikianlah Dia memerintahkan kepadamu agar kamu bertakwa} (Al-An’am: 153).
Tugas kita tidak lain adalah menutup segala kekurangan dan menyempurnakan akal, hati dan jiwa masyarakat, sehingga jalan yang ditempuh mereka menjadi benar dan teratur dalam tatanan kehidupan mereka sesuai dengan apa yang diinginkan Allah Swt. Adapun kita mengambil dari jalan Al-Qur’an tidak lain untuk menghidupkan hati dan jiwa dan menghalus lembutkan, membersihkan dan memberi makan pada jiwa dan akal serta hati dengan disinari oleh akidah yang benar sebagai sumber dari munculnya akhlak yang mulia dan utama, Allah Swt berfirman :
}أَلَمْ يَأْنِ لِلَّذِينَ آمَنُوا أَن تَخْشَعَ قُلُوبُهُمْ لِذِكْرِ اللَّهِ وَمَا نَزَلَ مِنَ الْحَقِّ وَلا يَكُونُوا كَالَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ مِن قَبْلُ فَطَالَ عَلَيْهِمُ الأَمَدُ فَقَسَتْ قُلُوبُهُمْ وَكَثِيرٌ مِّنْهُمْ فَاسِقُونَ{
{Belum tibakah waktunya bagi orang-orang yang beriman, untuk secara khusyuk mengingat Allah dan mematuhi kebenaran yang telah diwahyukan (kepada mereka), dan janganlah mereka (berlaku) seperti orang-orang yang telah menerima kitab sebelum itu, kemudian mereka melalui masa yang panjang sehingga hati mereka menjadi keras. Dan banyak di antara mereka menjadi orang-orang fasik} (Al-Hadid: 16).
Maka dari itu wajib bagi para pemikir, murabbi/ Pendidik, untuk terlibat masuk dalam mengambil peran tersebut dengan melalui metode Al-Qur’an dalam menyampaikan nasehat, menghidupkan hati dan jiwa, begitu juga melalui ayat-ayat syarifah yang mana kalau orang berakal sedikit merenung dan memikirkan ayat-ayat tersebut dapat dipastikan dia akan meluruskan pandangan dan metode kehidupannya, seperti yang Allah Swt firmankan di dalam surat Ad-Dukhan:
}كَمْ تَرَكُوا مِن جَنَّاتٍ وَعُيُونٍ، وَزُرُوعٍ وَمَقَامٍ كَرِيمٍ، وَنَعْمَةٍ كَانُوا فِيهَا فَاكِهِينَ، كَذَلِكَ وَأَوْرَثْنَاهَا قَوْماً آخَرِينَ، فَمَا بَكَتْ عَلَيْهِمُ السَّمَاء وَالأَرْضُ وَمَا كَانُوا مُنظَرِينَ{
{Betapa banyak taman-taman dan mata air-mata air yang mereka tinggalkan, juga kebun-kebun serta tempat-tempat kediaman yang indah, dan kesenangan-kesenangan yang dapat mereka nikmati di sana, demikianlah, dan Kami wariskan (semua) itu kepada kaum yang lain. Maka langit dan bumi tidak menangisi mereka dan mereka pun tidak diberi penangguhan waktu} (Ad-Dukhan: 25-29).
Saya memberi masukan kepada Anda untuk membaca kitab “Qalbu as-Salīm” yang terbagi dalam dua bagian, di mana bagian pertama adalah masalah akidah dan yang kedua adalah pembahasan akhlak, dan kedua bagian tadi ditulis dari seorang yang memiliki hati yang bersih.
3- Bertahap dalam menyampaikan hidayah dan memberikan solusi perbaikan, dan bergaul dengan masyarakat dengan penuh kasih sayang dan keakraban, sebagai contoh utama dari masalah ini yang termaktub di dalam Al-Qur’an adalah : bertahapnya masalah pengharaman minum khamr – dikarenakan minum khamr merupakan kebiasaan yang mendarah daging di tengah-tengah arab jahiliah , dan mereka telah menjadikan budaya meminum khamar sebagai sesuatu kebiasaan yang tertanam dalam benak dan jiwa mereka – maka pelarangannya dilakukan secara bertahap pada mereka, yakni pada tahapan pertama :
}يَسْأَلُونَكَ عَنِ الْخَمْرِ وَالْمَيْسِرِ قُلْ فِيهِمَا إِثْمٌ كَبِيرٌ وَمَنَافِعُ لِلنَّاسِ{
{Mereka menanyakan kepadamu (Muhammad) tentang khamar dan judi. Katakanlah, “Pada keduanya terdapat dosa besar dan beberapa manfaat bagi manusia. Tetapi dosanya lebih besar daripada manfaatnya.”} (AlBaqarah: 219),
Berkata sebagian sahabat kami tidak meminumnya karena meminum khamar adalah dosa, yang mana Allah telah mengharamkan seluruh keburukan dan kemaksiatan apa-apa yang zahir darinya dan juga yang batinnya yakni dosa, sebagian lainnya mengatakan kami meminumnya dengan kadar tertentu saja yang bermanfaat yang terkandung di dalamnya, kemudian turunlah firman-Nya:
}لاَ تَقْرَبُواْ الصَّلاَةَ وَأَنتُمْ سُكَارَى حَتَّىَ تَعْلَمُواْ مَا تَقُولُونَ{
{Wahai orang yang beriman! Janganlah kamu mendekati salat ketika kamu dalam keadaan mabuk, sampai kamu sadar apa yang kamu ucapkan} (An-Nisa: 43), kemudian sebagian dari mereka menghindari minuman khamar dan mengatakan kami tidak meminumnya pada saat salat karena bisa mengganggunya, kemudian turunlah ayat Al-Maidah yang melarang secara tegas dan pasti:
}يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ إِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَالأَنصَابُ وَالأَزْلاَمُ رِجْسٌ مِّنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ فَاجْتَنِبُوهُ{
{Wahai orang-orang yang beriman! Sesungguhnya minuman keras, berjudi, (berkurban untuk) berhala, dan mengundi nasib dengan anak panah, adalah perbuatan keji dan termasuk perbuatan setan. Maka jauhilah (perbuatan-perbuatan) itu} (Al-Maidah: 90).
Al-Qur’an pun turun ke bumi terbagi-bagi dan bertahap selama 23 tahun dengan tujuan – pada apa yang ditujunya – sebagai sebuah solusi dalam metode tahapan, yang mencakup tahapan yang disesuaikan dengan zaman dan tempat serta kondisi dan situasi yang menuntut penjelasan ayat yang berbeda-beda, serta perbedaan tingkatan pemahaman dan potensi manusia dalam menerima dan melaksanakannya.
Dalam kondisi lain, mungkin pula metode secara bertahap ini memiliki berbagai bentuk, seperti ketika kita yang menginginkan penyelesaian terhadap permasalahan yang tampak di masyarakat dan berakar di tengah-tengah mereka – seperti adat istiadat, kebudayaan suku dan kaum – maka kita memulai pertama-tama dengan mengajukan soalan dan permasalahan mengenai kebenaran adat dan budaya tadi dan fungsi serta penggunaannya, disertai dengan memberikan pertanyaan-pertanyaan yang membuat mereka khawatir dan ragu dengan hal itu, kemudian ditawarkan bagi mereka pengganti dan solusi lain yang berseberangan dengan budaya dan adat istiadat mereka. Jika sudah tampak dalam jiwa mereka keraguan dan telah sadar akan adanya kekeliruan pada adat istiadat mereka maka konsentrasikan pada solusi yang lebih baik tadi, dan kemudian akan muncul penerimaan dan kepuasan dalam memegang pandangan baru sebagai pengganti adat dan budaya yang sudah lama. Dari sini bisa disimpulkan bahwa jalan untuk mempermasalahkan kesalahan mereka itu terbuka pintunya, asalkan langkah tadi tidak dilakukan dengan cara langsung tanpa disertai dengan persiapan dan pembukaan, karena cara ini terlalu tergesa-gesa dan dapat dipastikan kegagalannya. Selama adat kebiasaan, yang meskipun salah tadi sudah mendarah daging dan mengakar disertai dengan adanya penghormatan penuh dari masyarakat tersebut sebagai sebuah warisan dari nenek moyang mereka, bahkan dengan kewajiban untuk taklid buta padanya, maka mereka sudah pasti akan menolak ayat-ayat yang disampaikan untuk mengubah kebiasaan dan adat mereka, kalau kita mencoba langsung untuk mengubahnya tanpa disertai dengan persiapan dan pengantar-pengantar yang diperlukan, inilah kenyataan yang tampak dari adat dan kebiasaan masyarakat.
Seperti halnya awal periode diangkat Rasulullah saww menjadi seorang nabi, Rasul saww tidaklah menyinggung sedikit pun secara langsung mengenai sesembahan kaum jahiliah, akan tetapi Rasul saww menunjukkan penyembahannya kepada Allah Swt, begitu juga Ali as dan Khadijah as, sampai kaum Quaisy melihat dan mendengar ketiga orang suci ini melakukan hal-hal yang berbeda dengan mereka, dan sampai di sini pun Rasulullah tidak menyinggung sesembahan kaum Quraisy dengan keburukan-keburukan mereka, akan tetapi Rasul saww pada saat itu membuka pintu mukadimah sebanyak-banyaknya berupa soalan dan pertanyaan (mengenai sesembahan tersebut): seperti apa yang dilakukan ketiga patung tersebut? Kepada siapa mereka kaum Quraisy menyembah? Kenapa ketiga orang suci tadi meninggalkan cara dan kebiasaan kaumnya dalam beribadah? Dan hal inilah yang menunjukkan keberanian yang kuat dan kesungguhan dalam beriman yang bisa disampaikan kepada mereka untuk diresapi dan diterima jiwa mereka, sehingga ketiga manusia suci tadi mampu untuk bersikap melawan seluruh kaumnya dengan segala keyakinan mereka...
Soalan dan pertanyaan tadi bisa membawa masyarakat Quraisy dalam memeluk Islam secara berjamaah – maka rujuklah kisah Abdullah bin Mas’ud dalam kitab sejarah, di mana kaum Quraisy tidak melawan dan menindaknya karena dia tidak mengobarkan dan membangkitkan amarah kaum Quraisy, karena dia pun tidak menyinggung sesembahan mereka berupa patung-patung secara langsung.
4- Perhatian pandangan masyarakat kepada fondasi dasar dalam pembentukan umat, yang mana umat tak akan ada kecuali dengan asas dan fondasi tadi, khususnya adanya permasalahan di tengah-tengah umat ketika mereka tidak memedulikan hal itu bahkan meninggalkan dan menelantarkannya begitu juga setelah wafatnya Rasulullah saww, yang mana asas fondasi penting umat semakin ditinggalkan, misal lainnya kewajiban mengajak kepada yang makruf dan melarang dari yang munkar, permasalahan imamah, wilayah bagi orang-orang mukmin, perlawanan kepada orang-orang kafir yang melawan, mawadah kepada dzilqurba, memegang teguh pada Al-Qur’an dan Itrah Nabi saww, penjagaan terhadap mesjid, dan salat jamaah dan salat Jumat. Setelah mereka ditinggalkan oleh Rasulullah saww, umat dengan sengaja meninggalkan fondasi yang kuat untuk menjaga keutuhan umat tadi, dari sanalah dimulai dengan cepat penyelewengan dan penyimpangan, maka usaha untuk kembali pada perbaikan dan reformasi untuk mewujudkan umat yang berdasar pada fondasi yang kuat seperti sedia kala memerlukan usaha yang lebih dalam pembahasan tersendiri dengan izin Allah Swt.
5- Mengisi waktu luang, meluruskan keinginan dan tujuan, meringankan segala kesukaran, kesulitan, dan kepenatan yang dihadapi oleh seseorang yang berusaha untuk memperbaiki masyarakat dan memberi hidayah atau yang sering kita katakan pembawa Al-Qur’an atau orang yang bersama Al-Qur’an yang menjadikan Al-Qur’an itu sendiri sebagai buku pedoman reformasi, Allah Swt berfirman :
}المص، كِتَابٌ أُنزِلَ إِلَيْكَ فَلاَ يَكُن فِي صَدْرِكَ حَرَجٌ مِّنْهُ لِتُنذِرَ بِهِ وَذِكْرَى لِلْمُؤْمِنِينَ{
{Alif Lam Mim shad.(Inilah) Kitab yang diturunkan kepadamu (Muhammad); maka janganlah engkau sesak dada karenanya, agar engkau memberi peringatan dengan (Kitab) itu dan menjadi pelajaran bagi orang yang beriman.} (Al-A’raf: 1-2),
}فَلَعَلَّكَ تَارِكٌ بَعْضَ مَا يُوحَى إِلَيْكَ وَضَآئِقٌ بِهِ صَدْرُكَ أَن يَقُولُواْ لَوْلاَ أُنزِلَ عَلَيْهِ كَنزٌ أَوْ جَاء مَعَهُ مَلَكٌ{
{Maka boleh jadi engkau (Muhammad) hendak meninggalkan sebagian dari apa yang diwahyukan kepadamu dan dadamu sempit karenanya, karena mereka akan mengatakan, “Mengapa tidak diturunkan kepadanya harta (kekayaan) atau datang bersamanya malaikat?”} (Hud: 12),
}وَاصْبِرْ وَمَا صَبْرُكَ إِلاَّ بِاللّهِ وَلاَ تَحْزَنْ عَلَيْهِمْ وَلاَ تَكُ فِي ضَيْقٍ مِّمَّا يَمْكُرُونَ، إِنَّ اللّهَ مَعَ الَّذِينَ اتَّقَواْ وَّالَّذِينَ هُم مُّحْسِنُونَ{
{Dan bersabarlah (Muhammad) dan kesabaranmu itu semata-mata dengan pertolongan Allah dan janganlah engkau bersedih hati terhadap (kekafiran) mereka dan jangan (pula) bersempit dada terhadap tipu daya yang mereka rencanakan. Sungguh, Allah beserta orang-orang yang bertakwa dan orang-orang yang berbuat kebaikan} (Hud: 127- 128),
}لَتُبْلَوُنَّ فِي أَمْوَالِكُمْ وَأَنفُسِكُمْ وَلَتَسْمَعُنَّ مِنَ الَّذِينَ أُوتُواْ الْكِتَابَ مِن قَبْلِكُمْ وَمِنَ الَّذِينَ أَشْرَكُواْ أَذىً كَثِيراً وَإِن تَصْبِرُواْ وَتَتَّقُواْ فإن ذَلِكَ مِنْ عَزْمِ الأُمُورِ{
{Kamu pasti akan diuji dengan hartamu dan dirimu. Dan pasti kamu akan mendengar banyak hal yang sangat menyakitkan hati dari orang-orang yang diberi Kitab sebelum kamu dan dari orang-orang musyrik. Jika kamu bersabar dan bertakwa, maka sesungguhnya yang demikian itu termasuk urusan yang (patut) diutamakan} (Ali ‘Imran: 186), ungkapan yang lebih halus dan lunak (yang menunjukkan kasih sayangnya) yakni ayat :
}وَاصْبِرْ لِحُكْمِ رَبِّكَ فَإِنَّكَ بِأَعْيُنِنَا{
{Dan bersabarlah (Muhammad) menunggu ketetapan Tuhanmu, karena sesungguhnya engkau berada dalam pengawasan Kami} (At-Tur: 48), perhatian-Nya, kasih sayang-Nya, rahmat, perlindungan, penjagaan, basirah dan selainnya sellau (meliputi seluruh hamba—hamba Nya).
Anda bisa melihat bahwa surat yang turun secara lengkap dari awal ayat sampai akhirnya untuk mencapai tujuan tersebut adalah surat Yusuf, di mana bisa kita rasakan bahwa turunnya surat ini terjadi pada saat kondisi sangat sulit, yakni ketika Rasulullah saww di Mekah sebelum hijrah, di mana Rasul saww kehilangan penolong setianya dengan wafatnya Abu Thalib as dan Khadijah as, dan muncul pada diri beliau saww keputusasaan dalam mengislamkan Quraisy di Mekkah, kemudian Rasul saww berusaha untuk mencari tempat lain selain Mekah seperti daerah Thoif, tetapi daerah itu pun tidak berhasil, maka menjadi sempitlah dunia ini bagi orang-orang mukmin. Ketika dalam kondisi demikian turunlah surat Yusuf pada mereka, dan dikisahkan pada mereka bagaimana saudara besar Yusuf membuat makar kepada saudara kecilnya yakni Yusuf, dan membuangnya ke sumur, dan hal itu akan menyebabkan kematian bagi Yusuf as kalau dilihat dari sebab-sebab alam biasa, akan tetapi Allah Swt mengutus kafilah para pedagang yang tak sengaja menemukan Yusuf di sumur dan menolongnya, lalu menjualnya ke salah satu pembesar Mesir, kemudian Yusuf as mengalami ujian dan cobaan berat dalam menghadapi seorang wanita terhormat Mesir dan juga wanita-wanita Mesir lainnya, kemudian Yusuf as dimasukkan ke dalam penjara bertahun-tahun lamanya, akan tetapi Allah Swt menolongnya dan mengeluarkannya dari penjara tersebut, dengan mengajarkannya takwil mimpi dan takwil kejadian yang akan terjadi. Berkat kemampuan takwil inilah Yusuf as menjadi pejabat Mesir yang bertanggungjawab dalam perbendaharaan logistik negeri Mesir, kemudian dia as menjadi penguasa atas perbendaharaan tersebut setelah dia as bisa mengambil hati dan jiwa masyarakat karena akhlak mulianya dan kebaikan dalam melaksanakan tugas dan pengaturannya. Setelah itu datanglah saudara-saudara besarnya pembuat makar tersebut ke Mesir dalam kondisi terhina di hadapannya, akan tetapi Yusuf as memaafkan mereka semua dengan jiwa besarnya dan hatinya yang penuh dengan kasih sayang, Yusuf berkata kepada saudara-saudaranya :
} لاَ تَثْرَيبَ عَلَيْكُمُ الْيَوْمَ يَغْفِرُ اللّهُ لَكُمْ وَهُوَ أَرْحَمُ الرَّاحِمِين{
{“Pada hari ini tidak ada cercaan terhadap kamu, mudah-mudahan Allah mengampuni kamu. Dan Dia Maha Penyayang di antara para penyayang} (Yusuf: 92), kemudian Allah Swt mengumpulkannya kembali bersama ayah dan saudara kecilnya. Rasulullah saww meminjam ungkapan yang sama ketika Quraisy melakukan makar kepadanya berkali-kali, sampai Allah Sawt menolong Rasul saww dan umat islam pada waktu itu, serta menempatkan Rasul saww menjadi penguasa di negeri mereka kaum Quraisy yakni Mekah, lalu ketika kembali ke Mekkah (pada futuh Mekah) terulang lagi kata-kata saudaranya yang terhormat Yusuf as dari lisan suci Nabi saww, dengan sabdanya :
((لا تثريب عليكم اليوم اذهبوا فانتم الطلقاء)) ((Tidaklah akan ada kepada kalian celaan pada hari ini. Pergilah, kalian bebas)), setelah Rasul saww bersabda demikian kepada mereka, beliau saww bersabda lagi: apa yang akan kalian lakukan kepadaku setelah aku membebaskan kalian semua, mereka berkata ((أخ كريم وابن عم كريم)) ((Anda adalah saudaraku yang mulia dan anak pamanku yang mulia))[2], dan itulah bukti pengakuan mereka kaum Qurasy akan ketinggian dan kemuliaan dzat Rasulullah saww.
6- Mendorong kepada para pelajar agama untuk belajar, mutalaah, tafaqquh, mengkaji sebenar-benarnya apa-apa yang bisa mendekatkan diri kepada Allah Swt dan yang bisa menambah makrifat kepada-Nya, seperti yang dikatakan bahwa, di dalam Al-Qur’an ada lebih dari 500 ayat mengenai ilmu, berpikir, penghormatan kepada para ulama, mencela orang-orang yang jahil dan orang-orang yang sama sekali tidak mau tahu, dan menyebutkan mengenai akibat dan siksaan yang akan diderita mereka, sampai-sampai Al-Qur’an menjadikan pengetahuan, ilmu, dan makrifat kepada Allah Swt sebagai sebab berlipat gandanya kekuatan orang-orang mukmin atas musuh-musuh mereka, sebanyak sepuluh kali lipat, berdasarkan ta’lil atau sebab dari ungkapan pada akhir baris ayat berikut ini:
} يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ حَرِّضِ الْمُؤْمِنِينَ عَلَى الْقِتَالِ إِن يَكُن مِّنكُمْ عِشْرُونَ صَابِرُونَ يَغْلِبُواْ مِئَتَيْنِ وَإِن يَكُن مِّنكُم مِّئَةٌ يَغْلِبُواْ أَلْفاً مِّنَ الَّذِينَ كَفَرُواْ بِأَنَّهُمْ قَوْمٌ لاَّ يَفْقَهُونَ{
{Wahai Nabi (Muhammad)! Kobarkanlah semangat para mukmin untuk berperang. Jika ada dua puluh orang yang sabar di antara kamu, niscaya mereka dapat mengalahkan dua ratus orang musuh. Dan jika ada seratus orang (yang sabar) di antara kamu, niscaya mereka dapat mengalahkan seribu orang kafir, karena orang-orang kafir itu adalah kaum yang tidak mengerti} (Al-Anfal: 65), sedangkan Al-Qur’an memisalkan sifat sabar sebagai sebab yang penting dalam mendapatkan kemenangan dengan dilipat gandakan satu kali saja bagi orang-orang mukmin,
}الآنَ خَفَّفَ اللّهُ عَنكُمْ وَعَلِمَ أَنَّ فِيكُمْ ضَعْفاً فإن يَكُن مِّنكُم مِّئَةٌ صَابِرَةٌ يَغْلِبُواْ مِئَتَيْنِ وَإِن يَكُن مِّنكُمْ أَلْفٌ يَغْلِبُواْ أَلْفَيْنِ بِإِذْنِ اللّهِ وَاللّهُ مَعَ الصَّابِرِينَ{
{Sekarang Allah telah meringankan kamu karena Dia mengetahui bahwa ada kelemahan padamu. Maka jika di antara kamu ada seratus orang yang sabar, niscaya mereka dapat mengalahkan dua ratus (orang musuh); dan jika di antara kamu ada seribu orang (yang sabar), niscaya mereka dapat mengalahkan dua ribu orang dengan seizin Allah. Allah beserta orang-orang yang sabar} (Al-Anfal: 66).
[1] Tahdzib al-Ahkām: 6/176.
[2] Tafsir Nur ats-Tsaqalain : 2/460.