Tugas Dari Hauzah Ilmiah Dalam Mengembalikan Hidup Pada Bimbingan Al-Qur’an

| |times read : 360
  • Post on Facebook
  • Share on WhatsApp
  • Share on Telegram
  • Twitter
  • Tumblr
  • Share on Pinterest
  • Share on Instagram
  • pdf
  • Print version
  • save

Tugas Dari Hauzah Ilmiah Dalam Mengembalikan Hidup Pada Bimbingan Al-Qur’an

          Saya meyakini bahwa pihak pertama dan utama di dalam lingkungan dan cakupan masyarakat yang memiliki tugas dan tanggung jawab mengenai masalah ini adalah hauzah syarifah ilmiah khususnya dari para pelajar agamanya, para tokoh-tokoh panutannya, penceramahnya, dan para ulamanya, karena hauzah pada hakikatnya adalah senjata masyarakat, kerusakan yang ada pada masyarakat diawali dengan kerusakan pada wilayah hauzah, semoga Allah menjauhkan hal itu terjadi. Di dalam riwayat dari Rasulullah saww, bersabda:

)) صنفان من أمتي إذا صلحا صلحت أمتي وإذا فسدا فسدت أمتي، قيل يا رسول الله (صلى الله عليه وآله) ومن هم؟ قال (صلى الله عليه وآله): الفقهاء والأمراء((

((Dua golongan dari umatku, jikalau keduanya baik maka akan baik pula umatku, dan jikalau keduanya rusak maka rusak pula umatku ini, dikatakan kepada Rasulullah saww, dan siapakah kedua golongan itu wahai Rasul saww? Rasul saww bersabda : para faqih (ulama ahli agama) dan Umara (penguasa)))[1].

          Saya telah mengatakan di dalam sebagian dari buku saya[2] bahwa sangat disayangkan sekali kondisi sekarang ini, di mana Al-Qur’an telah jauh dari metode pembelajaran hauzah, dan kalaupun ada maka disusun hanya pada wilayah yang mana tidak sampai bagi pelajar agama dalam mendalami Al-Qur’an, baik dari sejak awal tahapan pembelajaran sampai akhir tahapannya, tidak dilewatinya pembelajaran Al-Qur’an kecuali hanya sekedar pengetahuan dalam wilayah dalil dan argumentasi pada kaidah-kaidah nahwu, atau pembahasan usul fikih atau pun pada pengambilan dalil di dalam masalah fikih. Maka dari itu, terbukalah wahana untuk pendalaman akal saja seluas-luasnya tanpa menjadikan Al-Qur’an sebagai makanan untuk hati dan ruh serta obat bagi jiwa. Bahkan kadang ditemukan seseorang dari pelajar hauzah yang telah mencapai tingkatan yang tinggi dalam bidang ilmu fikih dan usul fikih, akan tetapi dia tidak menghidupkan kehidupannya dengan Al-Qur’an, bahkan belum pula membangkitkan pengalaman untuk mengaktifkan dirinya bersama Al-Qur’an dan menenggelamkan dirinya seperti halnya menjadikannya sebagai jalan dan solusi kehidupan. Anda bisa melihat ketika berlalunya waktu dalam sehari, seminggu tetapi tidak ditemukan di tangan pelajar agama yang sehari-harinya  memegang mushaf syarif untuk dibacakan ayat-ayatnya dan dipelajari kandungannya, hal itu terjadi karena tidak ada padanya keterikatan maknawi dan rohani yang mendalam antara dirinya dengan Al-Qur’an. Jikalau Al-Qur’an merupakan hal yang sangat penting dan lebih diutamakan dari selainnya pada dirinya, maka mana mungkin dia meninggalkannya,  dan pada akhirnya kondisi demikian adalah merupakan suatu musibah yang besar dalam dunia hauzah dan pada akhirnya dalam kehidupan masyarakat, bahkan mungkin parahnya di sini, adanya sebagian dari mereka yang tidak bagus dalam pembacaan dan qiraat Al-Qur’an dan tidak sesuai dengan kaidah bacaan sekalipun.

           Padahal pesan awal  hauzah ilmiah itu sendiri dibangun untuk membawa perbaikan dan solusi bagi masyarakat dan membimbing mereka untuk kembali kepada Allah Swt, dan langkah pertama yang penting bagi mereka dalam menjalankan pesan hauzah tersebut adalah pemahaman mereka pada Al-Qur’an, dan bersungguh-sungguh dalam pengaplikasiannya, karena sesungguhnya kondisi masyarakat tidak akan membaik kecuali mereka berpegang teguh pada Al-Qur’an, dan mendapatkan hidayah darinya, serta mendapatkan sinar dari cahayanya, seperti yang disebutkan dalam beberapa riwayat yang masyhur :

)) إني تارك فيكم الثقلين كتاب الله وعترتي أهل بيتي ما إن تمسكتم بهما لن تضلوا بعدي أبداً((

((Aku tinggalkan untukmu dua pusaka yang berat, yakni Kitabullah dan itrah ahlulbaitku , dan jikalau kalian berpegang teguh pada keduanya, maka tidak akan tersesatkan setelahku selama-lamanya))[3].



[1] Al-Khishāl: Abwāb al-Itsnain, hadis ke- 12.

[2] Washāyā wa Nashāih ila al-Khuthabā’ wa Thalabhati al-Hauzati as-Syarifati (dan telah dibahas dalam jilid ini).

[3] Terlah disebutkan sebelumnya.