Tidaklah Dikatakan Berpegang Teguh Pada Al-Qur’an Bagi Orang Yang Berpaling Dari Itrah Yang Suci
Tidaklah Dikatakan Berpegang Teguh Pada Al-Qur’an Bagi Orang Yang Berpaling Dari Itrah Yang Suci
Akan tetapi umat telah meninggalkan Kitabullah dan menjauhinya sejak mereka telah menggeser Itrah yang suci dari kedudukannya yang telah Allah Swt pilihkan untuk mereka pada tempat yang layak bersama Al-Qur’an, karena tidak mungkin untuk dipisahkan di antara kedua hal tersebut (pilihan Allah Swt dan Itrah), seperti yang difirmankan-Nya:
} وَرَبُّكَ يَخْلُقُ مَا يَشَاء وَيَخْتَارُ مَا كَانَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ{
{Dan Tuhanmu menciptakan dan memilih apa yang Dia kehendaki. Bagi mereka (manusia) tidak ada pilihan } (Al-Qasas:68).
Fitnah besar – yang membuat terpisahnya antara Al-Qur’an yang diam dan Al-Qur’an yang berbicara (Itrah) – yang dulu telah terjadi kepada Amirulmukminin as, ketika beliau as terpaksa untuk menerima proses Tahkim, dan untuk menjadikan Al-Qur’an sebagai hukum satu-satunya (berdasarkan syiar kaum khawarij, sebagai simbol), maka Imam Ali as berkata : ((Ini adalah Al-Qur’an yang terdiri dari baris tulisan yang tersusun di dalam satu kitab, dia tidak berbicara maka lazim baginya seorang penerjemah dan penjelas, yakni seorang manusia yang berbicara dan menjelaskannya))[1]. Maka dari itulah Kitabullah dan Itrah Nabi saww adalah dua hal yang tak terpisahkan, dan tidak mungkin seseorang berpegang teguh pada salah satunya tanpa yang lainnya, maka sesungguhnya Ahlulbait as adalah pintu dari Allah Swt, tidak bisa mendatangi-Nya kecuali dari pintu-Nya, dan Dia memerintahkan kita untuk datang ke rumah-Nya lewat pintu-pintunya.
Dan apa yang diklaim pihak selain kita mengenai perhatian mereka terhadap berpegang teguh pada Al-Qur’an melebihi kita adalah jelas- jelas keliru, betul, mereka sangat memperhatikan pelafalan huruf-huruf Al-Qur’an (makhorij al-huruf) dan juga pada keindahan suara (tahsin as-sauth) sampai-sampai pada batas nyanyian (ghina) dalam pembacaannya, begitu pula mereka menguatkan pada kaidah pembacaan tajwid yang mereka letakkan. Mereka sendiri meletakkan aturan tajwid itu sendiri yang kebanyakan berseberangan dengan hukum Syariat, dan hal ini terjadi karena perhatian mereka pada wilayah kulitnya saja, sedangkan yang lebih penting dari itu semua adalah penguasaan terhadap isi dan kandungan serta pengamalannya, karena sesungguhnya lafaz seperti halnya kulit , adapun intinya adalah isi dan makna kandungannya. Seorang pembicara tidak memperhatikan lafaznya saja akan tetapi lafaz itu digunakan untuk perantaraan maksud dan makna , dan lafaz hanya sebagai alat untuk disampaikan kandungannya kepada orang yang diajak bicara, sedangkan makna, isi dan kandungan adalah maksud hakiki dari pembicara tersebut, bukan lafaz.
Banyak sekali riwayat yang menjelaskan mengenai orang-orang yang sangat memperhatikan masalah lafaz Al-Qur’an dan huruf-hurufnya tanpa memedulikan makna-makna dan kandungan Al-Qur’an dan hukum-hukumnya, seperti yang terdapat di dalam hadis yang masyhur :
)(كم من قارئ للقرآن والقرآن يلعنه)(
((Berapa banyak pembaca Al-Qur’an dan Al-Qur’an melaknatnya))[2], dari sanalah Al-Qur’an marah kepadanya, karena dia tidak mengamalkan kandungannya, dan di dalam hadis lainnya dari Abu Jakfar as, berkata:
)) قرّاء القرآن ثلاثة: رجل قرأ القرآن فاتخذه بضاعة واستدر به الملوك واستطال به على الناس فذاك من أهل النار، ورجل قرأ القرآن فحفظ حروفه وضيع حدوده فذاك من أهل النار، ورجل قرأ القرآن فوضع دواء القرآن على داء قلبه فأسهر به ليله وأظمأ به نهاره وقام به في مساجده وتجافى به عن فرشه فبأولئك يدفع الله العزيز الجبار البلاء، وبأولئك يديل الله من الأعداء-أي ينصرهم على الأعداء- وبأولئك ينزل الله الغيث من السماء فوالله هؤلاء قراء القرآن أعز من الكبريت الأحمر((
((Tiga macam pembaca Al-Qur’an: seseorang yang membaca Al-Qur’an dan menjadikannya barang dagangan lalu meminta upah karenanya dari para penguasa serta menzalimi manusia dengannya (karena dia dekat dengan penguasa untuk menzalimi manusia atas nama Al-Qur’an) maka dia adalah ahli neraka, dan kedua adalah seseorang yang membaca Al-Qur’an lalu menghafal huruf-hurufnya dan lafaz-lafaznya dengan menelantarkan hukum-hukumnya, maka dia pun termasuk dari ahli neraka, dan yang ketiga adalah seseorang membaca Al-Qur’an, menjadikannya sebagai obat terhadap penyakit-penyakit maknawi yang terkandung dalam hatinya, bangun di malam harinya karenanya, berpuasa di siang harinya karenanya, dan menegakkannya di dalam mesjid-mesjid, dan karenanya dia menghindari tempat tidurnya (untuk menegakkan ibadah di malam hari), maka Allah Swt menghindarkan dari mereka segala bala dan bencana, dan Allah Swt memindahkan kekuasaan dari tangan musuh-musuhnya – yakni memenangkannya dari musuh-musuhnya - , dan Allah Swt menurunkan hujan keberkahan dari langit, maka demi Allah, merekalah qari (pembaca) Al-Qur’an sebenar-benarnya yang lebih jarang ditemukan dari berlerang merah sekalipun))[3].
Begitu pula hadis dari Imam Hasan as, berkata :
)(وإن أحق الناس بالقرآن من عمل به وإن لم يحفظه وأبعدهم منه من لم يعمل به وإن كان يقرأه)(
((Sesungguhnya orang yang lebih dekat dengan Al-Qur’an adalah yang mengamalkannya, walaupun belum menghafalnya, dan yang lebih jauh dari Al-Qur’an adalah yang tidak mengamalkannya walaupun dia membacanya))[4].
Dari sanalah tampak bahwa adanya rencana pemisahan Kitabullah dengan Itrah Nabi saww, sehingga Al-Qur’an kosong dari segala isi dan kandungannya, serta mendorong perhatiannya hanya kepada lafaz dan huruf-huruf saja, oleh sebab itu para Imam Maksum as memperingatkan kepada kita mengenai perhatian kepada isi dan kandungannya, maka siapa saja yang memperhatikan Al-Qur’an, dan dia membaca ayat :
} وَرَبُّكَ يَخْلُقُ مَا يَشَاء وَيَخْتَارُ مَا كَانَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ{
{ Dan Tuhanmu menciptakan dan memilih apa yang Dia kehendaki. Bagi mereka (manusia) tidak ada pilihan.} (Al-Qasas:68), kemudian dia berpaling dari siapa-siapa yang Allah Swt telah pilihkan untuk mereka (yakni para Imam as), dan mendahulukan selain mereka yakni Imam Maksum as yang mana Allah Swt telah menempatkan urusan seluruhnya di atas telapak tangan dan risalah Islam juga ditempatkan di atas telapak tangan lainnya dari mereka, seperti yang disebutkan ayat:
}يَا أَيُّهَا الرَّسُولُ بَلِّغْ مَا أُنزِلَ إِلَيْكَ مِن رَّبِّكَ وَإِن لَّمْ تَفْعَلْ فَمَا بَلَّغْتَ رِسَالَتَهُ واللهُ يَعْصِمُكَ مِنَ النَّاسِ{
{Wahai Rasul! Sampaikanlah apa yang diturunkan Tuhanmu kepadamu. Jika tidak engkau lakukan (apa yang diperintahkan itu) berarti engkau tidak menyampaikan amanat-Nya. Dan Allah memelihara engkau dari (gangguan) manusia } (Al-Māidah: 67).
Dan siapa saja yang mengaku mengikuti Al-Qur’an yang membacakan ayat dengan suara lantunan yang tinggi:
}قُل لا أَسْأَلُكُمْ عَلَيْهِ أَجْراً إِلا الْمَوَدَّةَ فِي الْقُرْبَى{
{Katakanlah (Muhammad), “Aku tidak meminta kepadamu sesuatu imbalan pun atas seruanku kecuali kasih sayang pada Alqurba.”} (Asy-Syura: 23). Kemudian mereka memusuhi Ahlulbait nabi saww dan mengincarnya di segala penjuru tempat. Andaikan mereka sedikit saja memahami Kitabullah, maka mereka semestinya menggabungkan ayat tersebut di atas dengan ayat berikut :
}قُلْ مَا أَسْأَلُكُمْ عَلَيْهِ مِنْ أَجْرٍ إِلا مَن شَاء أَن يَتَّخِذَ إِلَى رَبِّهِ سَبِيلاً{
{Katakanlah, “Aku tidak meminta imbalan apa pun dari kamu dalam menyampaikan (risalah) itu, melainkan (mengharapkan agar) orang-orang mau mengambil jalan kepada Tuhannya.”} (Al-Furqan: 57}, supaya mereka mendapatkan pemahaman terhadap hakikat Ahlulbait as , karena mereka adalah jalan kebenaran yang Allah Swt perintahkan untuk mengikuti mereka, seperti dalam firman-Nya:
}وَأَنَّ هَذَا صِرَاطِي مُسْتَقِيماً فَاتَّبِعُوهُ وَلاَ تَتَّبِعُواْ السُّبُلَ فَتَفَرَّقَ بِكُمْ عَن سَبِيلِهِ ذَلِكُمْ وَصَّاكُم بِهِ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ{
{Dan sungguh, inilah jalan-Ku yang lurus. Maka ikutilah! Jangan kamu ikuti jalan-jalan (yang lain) yang akan mencerai-beraikan kamu dari jalan-Nya. Demikianlah Dia memerintahkan kepadamu agar kamu bertakwa.} (Al-An’ām: 153), seperti yang Imam Baqir as jelaskan mengenai ayat ini, di mana beliau as berkata :
)(نحن السبيل فمن أبى هذه السبل فقد كفر)(
((Kamilah jalan tersebut, barang siapa yang menolak jalan tersebut maka dia sudah menutupi keimanannya))[5].
Saya tidak mengatakan ungkapan (hasbuna kitabullah) dan para pengikutnya yang mana mereka sendiri pun masih ragu akan hal itu sampai sekarang ini - yang bermakna bahwa hanya Al-Qur’an saja yang menjadi dalil terhadap segala sesuatu - sebagai sebuah ungkapan yang benar tetapi maksudnya adalah batil, akan tetapi saya katakan bahwa ungkapan tersebut adalah batil begitu pun maksudnya batil pula. Dan ketika mereka menginginkan ungkapan tersebut dijalankan, tidak lain hanyalah untuk menghancurkan asas Islam itu sendiri, karena mencukupkan diri dengan Al-Qur’an – seperti yang mereka klaim – berarti mereka tidak membutuhkan Rasulullah saww, dan hal itu sama halnya dengan ketidaktahuan mereka terhadap perincian syariat Islam yang ada, karena sesungguhnya Rasulullah saww dan para Imam Maksum as dari ahlulbaitnya adalah mereka yang menjalankan Al-Qur’an dan penjelas segala hukum-hukumnya.
Segala ilmu pengetahuan yang ada pada kalian, apakah bisa kalian menjadi seorang dokter atau seorang insinyur tanpa dia mendapatkan gelar tersebut dari seorang ahlinya yang mengetahui segala kedalaman ilmu tersebut?, dan bagaimana pula dengan Al-Qur’an yang mana disebutkan di dalam ayat :{تِبْيَاناً لِّكُلِّ شَيْءٍ} {Dan Kami turunkan Kitab (Al-Qur'an) kepadamu untuk menjelaskan segala sesuatu} (An-Nahl: 89), dan ayat {مَّا فَرَّطْنَا فِي الكِتَابِ مِن شَيْءٍ} {Tidak ada sesuatu pun yang Kami luputkan di dalam Kitab} (Al-An’Am: 38), sebagai penjelas segala sesuatu begitu juga senjata umat manusia seluruhnya dan di setiap zaman {مَا لَكُمْ كَيْفَ تَحْكُمُونَ} {Mengapa kamu ini? Bagaimana (caranya) kamu menetapkan?} (As-Saffat: 154). Rasulullah saww dalam hal ini telah memperingatkan mengenai bahaya ini, yakni pandangan yang mencukupkan diri pada Al-Qur’an sebagai dalil, dengan sabdanya :
)(لا ألفين أحدكم متكئاً على أريكته يأتيه الأمر من أمري مما أمرت به أو نهيت عنه فيقول: لا ندري ما وجدنا في كتاب الله اتبعناه)(
((Janganlah ada ditemukan satu pun dari kalian sedang (enak-enak) bersandar di dipan-dipannya (Peringatan Rasul saww kepada umatnya dengan sifat acuh tak acuh dan kesombongan) ketika datang sebuah perintah dariku, yang mana aku sendiri memerintahkannya kepada kalian, dan aku sendiri yang melarangnya atas kalian, kemudian dia berkata: kami tidak mengetahuinya, dan apa yang kami temukan di dalam Kitabullah itulah yang kami ikuti))[6].
Akan tetapi musuh-musuh Allah Swt dan para pengikut setan, mereka sudah mengetahui bahwa Al-Qur’an adalah benteng pelindung dan penjaga umat ini dari segala penyimpangan dan penyelewengan, dan mereka pun mengetahui bahwa Ahlulbait as adalah pengurusnya dan penanggung jawab dan pelindungnya, akan tetapi mereka membuat jalur lain yang menjauhkan keduanya dari umat, maka umat berada pada kondisi tanpa pengawas dan benteng pelindung serta penjaga, maka mereka menjadi sebuah mangsa yang mudah disergap musuh-musuh yang menunggu mereka, dari sini anda bisa melihat keguncangan pada diri mereka karena penuh syubhat dan keraguan bahkan dari yang paling sederhana sekalipun, dan mereka jatuh dalam perselisihan dan peperangan di masa setelah Nabi saww. Hal ini adalah sebuah keretakan besar, yang mana pengetahuan terhadap Al-Qur’an dan cara pandang, serta orang-orang yang mengikuti pandangan itu pulalah yang meretakkannya, dan dari sekian banyak bukti dari gejala pandangan dalam mencukupkan Al-Qur’an saja sebagai dalil adalah kurangnya hadis-hadis yang diriwayatkan dari mereka (para Imam Maksum as). Jikalau sedikit saja kalian renungkan kembali mengenai permasalahan ilmu hadis, kalian bisa melihat bahwa di zaman para khalifah, dengan segala kedudukan dan kekuasaannya yang ada, di sisi lain umat Islam pada saat itu sangat membutuhkan dan menginginkan untuk mendapatkan hadis-hadis tersebut, akan tetapi setelah saya pribadi menghitung hadis yang dinukil mereka dari Imam Ali as, Imam Hasan as, dan Imam Husein as dan khususnya hadis dari mereka as mengenai tafsir Al-Qur’an, saya sangat terkejut melihat kenyataannya: di mana para sahabat Nabi tidak pernah mengambil dan menyebutkan suatu hadis pun dari Ali as, sedangkan para tabiin, mereka hanya meriwayatkan hadis dari Imam Ali as – jikalau dihitung – tidak lebih dari seratus riwayat dalam masalah tafsir Al-Qur’an, sedangkan dari Imam Hasan as, mungkin tidak sampai sepuluh riwayat, bahkan dari Imam Husein as, tidak ditemukan nukilan riwayat dari mereka. Kalau kita bandingkan dengan hadis yang telah sebagian dari mereka hitung mengenai riwayat yang membahas tafsir Al-Qur’an, seluruhnya mencapai tujuh belas ribu riwayat (menurut Suyuti yang menyebutkannya di dalam kitab Al-Itqān) dari jalur jumhur ulama Ahlusunah , dan jumlah tersebut juga dicapai oleh riwayat yang berhubungan dengan masalah fikih))[7].
Dari sini kita bis menyimpulkan kerugian apa saja yang bisa ditimbulkan dari usaha menjauhi diri dari bimbingan Ahlulbait as, yang mana Allah Swt telah memilih mereka sebagai penjelas Al-Qur’an:
1- Banyaknya hakikat ilmu yang hilang dari umat, yang mana tidak ada yang mengetahui ilmu tersebut kecuali mereka as.
2- Penurunan peran Al-Qur’an dari fungsinya sebagai pemberi solusi terhadap permasalahan jiwa manusia, dan problematika umat, karena Al-Qur’an dan Itrah adalah dua hal yang tak terpisahkan , maka fungsi Al-Qur’an tak akan bisa berjalan dalam kehidupan umat kecuali dengan petunjuk dan bimbingan mereka as.
3- Al-Qur’an menjadi sebuah barang permainan di tangan para penipu dan hamba hawa nafsu, serta hanya dimanfaatkan untuk kepentingan pribadi bahkan untuk kepentingan musuh Islam, maka kalian bisa melihat kenyataannya, bahwa setiap kelompok menjadikan Al-Qur’an sebagai dalil terhadap keyakinan mereka masing-masing seperti halnya kaum khawarij, yang mana mereka berargumentasi dengan Al-Qur’an supaya mendapatkan proses tahkim di antara mereka dan Ibnu Abbas ra, kemudian Imam Ali as menasihati Ibn Abbas untuk tidak berdalil dengan Al-Qur’an ketika berhadapan dengan mereka, karena Al-Qur’an (memiliki banyak makna)[8] dan makna hakiki itu mengandung takwil, di mana Al-Qur’an mewanti-wanti untuk tidak mengikutinya:
}فَأَمَّا الَّذِينَ في قُلُوبِهِمْ زَيْغٌ فَيَتَّبِعُونَ مَا تَشَابَهَ مِنْهُ ابْتِغَاء الْفِتْنَةِ وَابْتِغَاء تَأْوِيلِهِ{
{ Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong pada kesesatan, mereka mengikuti yang mutasyabihat untuk mencari-cari fitnah dan untuk mencari-cari takwilnya,} (Ali Imran: 7), kemudian Al-Qur’an sendiri memberi jawaban pembukaan mengenai solusi terhadap ayat-ayat mutasyabih tadi :
}وَمَا يَعْلَمُ تَأْوِيلَهُ إِلاَّ اللهُ وَالرَّاسِخُونَ فِي الْعِلْمِ{
{ padahal tidak ada yang mengetahui takwilnya kecuali Allah dan orang-orang yang ilmunya mendalam} (Ali Imran: 7), dan yang paling jelas personel orang orang yang mendalam ilmunya adalah mereka Ahlulbait as.
4- Umat menjadi tercerai berai dan terpecah belah, sebab umat tidak memegang Al-Qur’an beserta Ahlulbait Nabi saww sebagai penjaga dan poros persatuan umat, seperti yang disabdakan Rasulullah saww mengenai penjelasan ayat :
}وَاعْتَصِمُواْ بِحَبْلِ اللّهِ جَمِيعاً وَلاَ تَفَرَّقُواْ{
{Dan berpegang teguhlah kamu semuanya pada tali (agama) Allah} (Ali Imran: 103), kemudian Rasul Saww bersabda: sesungguhnya tali agama Allah itu adalah Al-Qur’an dan Itrahku, begitu juga Sayyidah Zahra as mengungkapkan mengenai tali Allah Swt ini di dalam khotbahnya di masjid Rasulullah saww bahwa: ((Dia menjadikan para Imam kami sebagai sistem keteraturan bagi umat))[9], yakni dengan para Imam as segala urusan umat akan teratur dan stabil, maka akibat dari menjauhi Ahlulbait as adalah kehancuran umat ditangan orang-orang penguasa zalim, dan hamba hawa nafsu, yang mana mereka sendiri menggunakan Al-Qur’an untuk menghancurkan umat dan generasinya, mereka para pengkhotbah penguasa zalim dan para pengikutnya yang selalu mencari jalan pembenaran melalui Al-Qur’an terhadap segala amal dan perbuatan penguasa zalim, seperti mereka menggunakan ayat :
}أَطِيعُواْ اللهَ وَأَطِيعُواْ الرَّسُولَ وَأُوْلِي الأَمْرِ مِنكُمْ{
{Wahai orang-orang yang beriman! Taatilah Allah dan taatilah Rasul (Muhammad), dan Ulil Amri di antara kamu} (An-Nisa: 59), mereka mengartikan orang-orang kafir, fasik, dan penguasa zalim sebagai ulil amri untuk umat Islam.
[1] Nahj al-Balāghah: Khutbah 125.
[2] Mustadrak al-Wasāil: Kitab As-Shalāt, Abwāb Qirāatulqurān, bāb ke-7, hadis ke- 7.
[3] Al-Khishāl: 142.
[4] Irsyād al-Qulūb:79.
[5] Bihār al-Anwār: 13/24, bāb: Annahum alihissalam As-Sabīl wa As- Shirāth wa Hum wa Syi’atuhum.
[6] Al-Mīzān fi Tafsīr al-Quran: jilid ke- 3 di dalam pembahasan riwayat terhadap ayat 28-32 dari surat Ali ‘Imran. Riwayat tersebut dinukil dari Ahmad, Abu Dawud, Tirmidzi, Ibnu Majah, Ibn Hibban dan selainnya dari para perawi Ahlusunah.
[7] Al-Mīzān fi Tafsīr al-Qur’ān: jilid ke-5, mengenai pembahasan sejarah di bawah penjelasan ayat ke 15-19 dari surat Al-Maidah.
[8] Bihār al-Anwār:2/145.
[9] Kasyf al-Ghummah: 2/110.