[Tahanlah mereka (di tempat perhentian), sesungguhnya mereka akan ditanya]

| |times read : 470
  • Post on Facebook
  • Share on WhatsApp
  • Share on Telegram
  • Twitter
  • Tumblr
  • Share on Pinterest
  • Share on Instagram
  • pdf
  • Print version
  • save

Dengan Menyebut Nama-Nya Yang Maha Tinggi

[Tahanlah mereka (di tempat perhentian), sesungguhnya mereka akan ditanya] (As-Saffat :24).

Sifat-Sifat Pengurus/Pemimpin/Penanggungjawab[1]

            Diriwayatkan dari Rasulullah saww dengan sabdanya: (Ingatlah! Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap kalian akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya. Seorang Amir adalah pemimpin masyarakat dan akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinan mereka. Seorang laki-laki adalah pemimpin atas keluarganya dan ia akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinan keluarganya. Seorang wanita adalah pemimpin atas rumah suaminya dan anak-anaknya, dan ia pun akan dimintai pertanggungjawaban atas kepengurusan mereka))[2].

            Amirulmukminin berkata : (Bertakwalah kepada Allah Swt terhadap (kepemimpinan) hamba-hamba-Nya dan (pengurusan) bumi-NYa, karena kalian akan diminta pertanggungjawaban walaupun atas sebidang tanah atau binatang sekalipun, dan taatlah kalian kepada Allah Swt, janganlah bermaksiat kepada-NYa)[3].

            Kita semua akan diminta pertanggungjawaban atas segala sesuatu dalam kehidupan kita, walaupun cakupannya dari tanggungjawab tersebut berbeda-beda, dan tidak akan terlepas seorangpun dari tanggungjawab tersebut walau sekecil apapun. Pertama tama yang dilihat adalah perilaku kita terhadap tanggung jawab tersebut dan berikutnya adalah pemeliharaannya, kedua tanggungjawab kita atas kerabat dan keluarga lalu tanggungjawab atas teman-teman dan para sahabat dalam berinteraksi dan bermuamalah, ada juga tanggungjawab kita atas para tetangga dan masyarakat umum jikalau seseorang itu menduduki peran dalam pengurusan dan tanggungjawab atas masyarakat, politik dan agama, sampai kiranya tanggungjawab tersebut meningkat pada wilayah dan tugas dalam pengelolaan masyarakat umum dan pengurusan/tanggungjawab penuh atas umat serta pemeliharaan dan pengelolaan atas kebutuhan masyarakat.

            Telah disebutkan dalam beberapa riwayat yang mulia mengenai sifat-sifat dan kekhususan yang harus terpenuhi bagi orang-orang yang memegang tanggungjawab dan kepengurusan supaya berhasil dalam amal kerjanya dan sukses dalam pelaksanaan tugasnya sebagai orang yang mendapatkan kebaikan disisi Allah Swt serta menggapai keridoanNya. Saya memandang bahwa kekhususan dari sifat-sifat tadi terkumpul pada sifat "kebapaan" yakni kebanyakan sifat-sifat yang menempel pada pengurus/pemimpin/penanggungjawab – dalam setiap tingkatannya – berkumpul pada sifat "kebapaan" tadi, dimana Nabi saww pun menjadikan sifat tadi sebagai sifat yang ada pada dirinya dan saudaranya Amirulmukminin as, seperti dalam sabdanya : ((Saya dan Ali ibn Abi Thalib as adalah bapak dari umat ini))[4].

Dan Saya mengatakan kepada anda sekalian dengan jujur bahwa kebanyakan sifat yang tidak

Ditemukan pada mereka yang memegang suatu urusan dan tanggungjawab, baik orang dewasa ataupun selainnya adalah sifat "kebapaan" ini, dan ketiadaan sifat inilah penyebab utama dalam kegagalan dari kebanyakan kepengurusan lembaga-lembaga kita, bukan hanya pada lembaga-lembaga resmi negara bahkan pada lembaga lainnya seperti lembaga donasi, keagamaan, kemasyarakatan dan kebudayaan.

            Syeikh Kulaini qs meriwayatkan sebuah riwayat dari Imam Baqir as, bahwa Imam as Berkata : ((Rasul saww bersabda : Tidak diperkenankan seseorang menjadi pemimpin kecuali padanya ada tiga sifat : warak yakni membatasi dirinya dari perbuatan maksiat kepada Allah Swt, kelembutan yakni bisa mengontrol amarahnya, dan baik dalam memegang perwalian kepada yang diwalikannya seperi halnya seorang ayah kepada anak-anak kandungnya))[5].

            Syeikh Kulaini qs juga meriwayatkan sebuah riwayat dalam sumber yang sama : ((Telah dihadirkan didepan Amirulmukminin as sebuah madu dan buah tin yang berasal dari daerah Hamadon dan Halwan, kemudian Imam as memerintahkan kepada para pemuka kabilah untuk membawakan anak-anak yatim ke tempatnya, setelah mereka tiba, Imam as duduk didekat wadah madu tersebut dan dengan jarinya beliau as merasakan madu tersebut dan membagi-baginya dalam cangkir-cangkir lalu diberikan kepada para tamu tersebut termasuk mereka anak-anak yatim, kemudian para pembesar kabilah tersebut bertanya kepada Imam as : wahai Amirulmukminin, mengapa mereka anak yatim didatangkan bersama kita dan mereka menjilati madu tersebut dari tangan anda dan cangkir yang anda berikan? : Imam as Menjawab : Sesungguhnya Imam adalah ayah dari anak-anak yatim ini, dan sesungguhnya aku memberikan madu ini dengan tangan ini, dan mereka menjilatinya tidak lain karena perhatian seorang ayah kepada anak-anaknya))[6]. 

            lalu sifat-sifat dan prilaku apa yang dibutuhkan seorang ayah kandung kepada anak-anaknya seperti yang ingin disampaikan pesannya dari  hadits mulia tersebut ketika kita hubungkan hal tersebut pada masalah sifat-sifat penanggungjawab/pengurus terhadap kepengurusannya?

            Tetapi sebelumnya kita perlu menanamkan sifat-sifat baik tersebut didalam diri kita karena :

Pertama : Supaya kita bisa meresapi kedalam diri kita sendiri dan mempraktikan dengan sifat-sifat tersebut, karena perkara tersebut merupakan bagian dari akhlak yang mulia dan kebaikannya, yang mana orang yang mengamalkannya akan mendapatkan derajat yang tinggi di sisi Allah Swt, dan sayang sekali hal-hal tersebut termasuk perkara yang kebanyakan orang tidak memperhatikan dan mempedulikannya, bahkan melalaikan dari prilaku dan perangai yang agung yang bisa dengannya kita mendekatkan diri kepada Allah Swt. Nabi saww pernah bersabda : ((Sesungguhnya seorang hamba, walaupun kurang dalam beribadah, tetapi karena memiliki akhlak yang baik, dia  dapat mencapai derajat yang agung dan kedudukan yang mulia di hari akhirat kelak)), dan hadits dari Rasul saww : ((Tidak ada sesuatupun yang lebih berat timbangan mizannya kecuali akhlak yang baik))[7], begitu juga riwayat dari Imam Shodiq as : ((Tidak ada yang amal yang disukai Allah Swt dari hamba-hamba yang mukmin setelah amalan-amalan wajib kecuali akhlak yang baik))[8].

Kedua: Sesungguhnya kita akan dihisab dengan apa-apa yang harus kita pertanggungjawabkan seperti yang diterangkan didalam ayat Alquran Alkarim : [Tahanlah mereka (di tempat perhentian), sesungguhnya mereka akan ditanya](As-Shaffat: 24)), [Maka demi Tuhanmu, Kami pasti akan menanyai mereka semua, tentang apa yang telah mereka kerjakan dahulu](Al-Hijr: 92-92).

Ketiga : Supaya kita bisa mengambil pelajaran mengenai tarbiah anak-anak dengan benar yang sesuai dengan pengajaran Ahlulbait as, dan kalau kita perhatikan bahwa sebagian sifat-sifat yang disebutkan dalam riwayat, kita bisa mengambil sebuah pelajaran jikalau kita melihatnya dari sisi tanggungjawab seorang ayah kepada keluarganya, akan tetapi karena yang diharapkan dari riwayat tersebut adalah tanggung jawab kepada pengurusan yang lebih luas lagi yakni kepengurusan dan tanggungjawab atas masyarakat seperti halnya pengurusan seorang ayah kandung kepada anak-anaknya, maka kita perlu menanggalkan dari riwayat tersebut kekhususannya yakni kekhususan cakupan sifat ayah kepada anak-anak kandungnya akan tetapi kita perluas kepada kepengurusan yang lebih luas lagi, karena dalam riwayat tersebut tidak ada keharusan dalam pengkhususan pada cakupan satu kepengurusan saja.

            Sifat-sifat orang tua kepada anak-anak kandungnya seperti yang disebutkan dalam riwayat dan merupakan sifat-sifat yang dibutuhkan pula bagi para pengurus/penanggungjawab kepada kepengurusannya, adalah:

1)     Kecintaan kepada anak-anak kandung dan kepada setiap orang dibawah kepengurusannya jikalau kita melihat pada sebuah posisi yang memiliki tanggungjawab atas masyarakat : Seperti yang dikatakan Imam Ja‘far as-Shodiq as, beliau as berkata : ((Musa ibn ‘Imrān berkata : Ya Rab, amal apa yang lebih utama disisimu? Allah Swt berfirman : Mencintai anak-anak kecil, karena Aku menciptakan mereka secara fitrah kepada tauhidKu, dan Aku juga mematikan serta memasukan mereka dengan rahmatKu dan SyurgaKu))[9], dan riwayat lain dari Nabi saww, beliau saww bersabda : ((Cintailah anak-anak kecil dan kasihanilah mereka))[10], dan riwayat dari Nabi saww, beliau saww bersabda: ((Pandangan seorang ayah kepada anaknya karena mencintainya adalah sebuah ibadah))[11], begitu juga riwayat dari Imam Shodiq as, beliau as berkata: ((Sesungguhnya Allah Swt akan mengasihi seorang hamba dikarenakan begitu cintanya dia kepada anak-anaknya))[12].

Pada hakikatnya cinta dan sayang harus bisa meliputi kepada seluruh manusia karena mereka pun diciptakan oleh Allah Swt dan bukti akan kekuasan-Nya, karena seorang pecinta Allah Swt pastilah mencintai apa-apa yang dicintai-Nya dan yang diinginkan-Nya.

2)     Rasa kasih sayang, sebagaimana Allah Swt berfirman : [Maka berkat rahmat Allah engkau (Muhammad) berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya engkau bersikap keras dan berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekitarmu] (Ali Imran : 159), dan juga ketika Amirulmukminin as mengutus Malik al-Asytar ke negeri Mesir untuk dijadikan seorang gubernur disana, Imam as mengatakan kepadanya : ((pakaikanlah hatimu dengan kasih sayang kepada rakyat, kecintaan kepada mereka, dan kelembutan bagi mereka. Janganlah bersikap keras dan kasar, perhatikanlah makanan mereka; Sesungguhnya mereka itu dua golongan: kelompok pertama adalah saudara kamu seagama dan kedua adalah saudara dalam penciptaan))[13].

Dan riwayat yang sesuai dengan pembahasan kita mengenai hubungan antara sang ayah dengan anak-anaknya, seperti riwayat dari Rasulullah saww : ((Cintailah anak kecil dan berkasih sayanglah kepada mereka...))[14].

Hal-hal yang bisa menunjukkan kecintaan kepada anak-anak dan kasih sayang kepada mereka adalah : mencium mereka, membuat mereka bergembira, dan menyenangkan hati mereka, menghibur mereka, mengusap kepala mereka, dan memandang dengan pandangan kasih sayang kepada mereka... Sebuah riwayat dari Rasulullah saww : ((Barangsiapa yang mencium anaknya, Allah Swt menuliskan baginya satu kebaikan, dan barangsiapa yang membuatnya senang, Allah Swt menyenangkan mereka di hari kiamat, dan barangsiapa yang mengajarinya Alquran, maka kedua orangtuanya akan dipanggil di hari kiamat dan dipakaikan padanya dua helai pakaian syurga yang mana dengan pakaian tersebut dapat menyinari wajah-wajah ahli syurga))[15].

Ada riwayat lain yang sejalan dengan pembahasan kita yakni riwayat dari Rasulullah saww : ((Ciumlah anak-anak kalian, karena sesungguhnya disetiap ciuman ada satu derajat di syurga, dan jarak diantara dua derajat  sepanjang 500 tahun))[16]. Begitu juga riwayat dari Nabi saww ketika beliau as mencium Al-Hasan as dan Al-Husein as, berkatalah Aqra‘ bin Habis : ((Sesungguhnya aku memiliki 10 anak, dan belum pernah aku mencium satupun dari mereka, kemudian Rasul saww bersabda : Saya tidak menanggung jikalau Allah Swt mencabut darimu rasa kasih sayang))[17]. Riwayat yang senada dengannya yakni ketika Rasulullah saww mencium Al-Hasan as dan Al-Husein as, Uyaynah berkata : ((Sesungguhnya aku memiliki 10 orang anak, dan belum pernah aku mencium satupun dari mereka, kemudian Nabi saww bersabda : Barangsiapa yang tidak memberikan kasih sayang maka diapun tidak diberi kasih sayang oleh-Nya))[18]. Imam Musa Kadzim as dari ayah-ayahnya yang suci dari Rasulullah saww bersabda: ((Jikalau seorang ayah melihat anaknya kemudian membuatnya gembira, Allah Swt mencatat pahala bagi ayah tersebut sebesar pahala membebaskan budak, kemudian dikatakan : Wahai Rasulullah saww, apakah pahala itupun berlaku jikalau orang tersebut melihat anaknya sebanyak 320 penglihatan? Kemudian Rasul saww bersabda : Allah Maha Besar (begitu besarnya pahala yang akan didapatkannya)))[19]. Riwayat lain menyebutkan bahwa Nabi saww diwaktu pagi hari selalu mengusap kepala anaknya dan anak-anak dari anaknya[20]. Bahkan Imam Ali as bersabda: ((Mencium anak adalah sebuah rahmat))[21].

Sebuah riwayat dari Rasulullah saww ketika beliau menemui seorang sahabat bernama Utsman bin Maẓ‘ūn dan bersamanya seorang anak laki-laki kecil dan dia menciuminya, kemudian Nabi saww bersabda kepadanya : Ini putramu? dia menjawab : ya, Nabi saww bersabda: Apakah anda mencintainya wahai Utsman? dia menjawab : betul, demi Allah ya Rasulullah, aku mencintainya!, Nabi saww bersabda : apakah kamu ingin aku tambahkan untukmu padanya rasa cinta? dia menjawab : Ya, demi ayah dan ibuku jadi tebusan untukmu!, Nabi saww bersabda: Dengarlah wahai Utsman, barang siapa yang membuat senang seorang anak kecil dari keturunannya sampai anak kecil tersebut menjadi senang dan gembira maka Allah Swt di hari kiamat akan membuatnya senang dan gembira))[22].

3)     Berpura-pura melalaikan/tidak mengetahui suatu kesalahan yang diperbuat mereka: Tanpa melihat apa yang dikerjakan anak kecil tersebut, seakan-akan anda tidak mengetahui apa yang dilakukannya dari suatu kesalahan, akan tetapi anda dengan perhatian penuh menjaganya secara tersembunyi dari segala apa yang dikerjakannya.

Sikap tersebut banyak disebutkan didalam beberapa riwayat dari Ahlulbait as salah satunya dari Amirulmukminin as, berkata : ((Sesungguhnya seorang yang berakal setengahnya adalah menganggap sesuatu sebagai sebuah kemungkinan (tidak cepat menghukumi) dan toleransi, setengah lagi berpura-pura tidak tahu ))[23]. Begitu juga riwayat dari Amirulmikminin as, berkata : ((Yang paling mulia dan luhur dari sebuah amalan – atau keadaan – adalah berpura-pura tidak mengetahuinya))[24]. Dan riwayat dari Imam Shodiq as, berkata : ((Kebaikan dalam kondisi hidup dan bermasyarakat adalah memegang kesepakatan dan perjanjian, sepertiganya adalah kepandaian dan sepertiganya lagi adalah berpura-pura tidak mengetahuinya))[25]. Dan juga riwayat dari Imam Ali Zainal Abidin as, berkata : ((Ketahuilah! wahai putraku bahwa sesungguhnya kebaikan dunia dengan segala isinya ada pada dua kalimat saja :memperbaiki keadaan hidup dan menepati janji dan kesepakatan, dimana sepertiganya adalah kepandaian, dan sepertinya lagi bersikap berpura-pura tidak mengetahui, karena sesungguhnya manusia tidak berpura-pura tidak tahu dari sesuatu kecuali dia telah mengetahuinya dan pandai dalam menyikapinya))[26].

4)     Kelembutan, kehalusan, keramahtamahan, dan kebaikan dengan mereka, adalah termasuk adab yang umum untuk berinteraksi dengan masyarakat, seperti yang disabdakan Rasulullah saww : ((Tuhanku memerintahkanku untuk bersikap lemah lembut dan berbuat baik kepada manusia, seperti halnya Dia memerintahkanku dengan perintah-perintah yang Wajib))[27].  Dan riwayat lainnya dari Rasul saww : ((Bersikap lemah lembut dan berbuat baik serta bijak kepada manusia adalah setengahnya dari iman, dan berbuat baik kepada mereka adalah setengahnya kehidupan dan kebahagiaan))[28], dan dari sabdanya saww pula : ((Sesungguhnya Allah Swt itu Maha Lemah Lembut yang mewajibkan kepada kita bersikap lemah lembut, dan memberikan dengan kelemah lembutan tadi (rahmat-Nya) yang tidak akan bisa diberikan dengan sifat keras dan kejam))[29].

Bersikap lemah lembut dan berbuat baik adalah salah satu dari sifat-sifat Allah Swt, dan implementasi dari tauhid amali – seperti dalam istilah ilmu kalam – adalah penerapan dan penjiwaan manusia dengan akhlak Allah Swt sehingga menjadi orang yang lemah lembut dan penuh dengan kebaikan, dengan hal itu berarti seseorang menanggalkan sikap kasar dan keras dalam setiap perbuatan dan perkataan di setiap kondisi dan situasi, baik itu dulunya pernah bersikap keras dan kasar ataupun tidak. Diriwayatkan dari Rasulullah saww : ((Bersikaplah dengan manusia dengan kemudahan jangan dengan kesusahan))[30].  Diriwayatkan pula dari Rasulullah saww : ((Sesungguhnya Allah Swt mewajibkan bersikap lemah lembut, bahkan menegaskannya untuk bersifat demikian))[31]. Dan dari Rasul saww juga diriwayatkan : ((Jikalau kelemahlembutan adalah makhluk maka tidak ada makhluk yang Allah Swt ciptakan lebih baik darinya))[32]. Dari Rasul saww juga diriwayatkan : ((Sesungguhnya didalam kelembutan adanya keberkahan dan keutamaan, dan barangsiapa yang melarang kelemahlembutan maka dia telah melarang datangnya kebaikan))[33]. Dari Imam Ja‘far as berkata : ((Barangsiapa yang bersikap lemah lembut dalam urusannya, maka dia akan cepat mendapatkan apa yang dia inginkan dari manusia))[34].

Seperti yang terakhir diwasiatkan Nabi Khidr as kepada Nabi Musa bin Imran as, yang mana ia as berkata : ((Sesungguhnya perkara yang sangat disukai Allah Swt ada tiga hal ... lemah lembut kepada hamba Allah Swt, dan tidak ada seorangpun yang berlemah lembut kepada orang lain di dunia ini kecuali Allah Swt berlemah lembut kepadanya di hari kiamat))[35].

Lemah lembut adalah salah satu adab dalam berdakwah untuk mengajak kepada Allah Swt, pada kebaikan, dan juga pada urusan amar makruf nahi munkar, seperti yang difirmankan Allah Swt kepada nabi-Nya Musa as dan saudaranya Harun as : [pergilah kamu berdua kepada Fir‘aun, karena dia benar-benar telah melampaui batas; maka berbicaralah kamu berdua kepadanya (Fir‘aun) dengan kata-kata yang lemah lembut, mudah-mudahan dia sadar atau takut] (Taha: 43-44.).  Adab berlemah lembut memiliki efek besar pada  jiwa dan juga pengaruh yang luas kepada masyarakat[36], begitu juga sifat ini bisa memberikan peluang lebih dari pengaruh dan daya tariknya kepada orang lain, akan tetapi sikap kaku, keras dan kasar bisa cepat menyebabkan kebencian dan penolakan[37]. Allah Swt berfirman : [Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pengajaran yang baik, dan berdebatlah dengan mereka dengan cara yang baik](An-Nahl:125), dan juga firman- Nya Swt : [Dan tidaklah sama kebaikan dengan kejahatan. Tolaklah (kejahatan itu) dengan cara yang lebih baik, sehingga orang yang ada rasa permusuhan an-tara kamu dan dia akan seperti teman yang setia](Fussilat: 34). Adab berlemah lembut akan semakin terlihat, terasa, dan kuat kalau kita lihat dari hubungan antara kedua orangtua dengan anak-anaknya.

5)      Sifat pemaaf dari kekeliruan mereka: yakni menghindari tindakan teguran keras, cepat membalas dengan hukuman dan celaan, dimana dalam hal ini Alquran Alkarim dan juga sunnah Nabi saww dalam manhaj dan sirahnya memperlihatkan dasar dari sifat pemaaf tadi dalam interaksinya dengan masyarakat, baik itu didalam internal keluarga ataupun eksternalnya, bahkan yang lebih luas lagi dari itu.

Allah Swt berfirman : [dan hendaklah mereka memaafkan dan berlapang dada. Apakah kamu tidak suka bahwa Allah mengampunimu? Dan Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang] (An-Nur:22), dan juga dalam firman-Nya: [Maka maafkanlah dan berlapangdadalah] (Al-Baqarah: 109), dan [Dan mereka menanyakan kepadamu (tentang) apa yang (harus) mereka infakkan. Katakanlah, “Kelebihan (dari apa yang diperlukan)] (Al-Baqarah: 219), [Pembebasan itu lebih dekat kepada takwa] (Al-Baqarah: 237), [Jika kamu menyatakan sesuatu kebajikan, menyembunyikannya atau memaafkan suatu kesalahan (orang lain), maka sungguh, Allah Maha Pemaaf, Mahakuasa] (An-Nisa:149).

            Dari ayat-ayat tersebut diatas, kita bisa memahami bahwa Allah Swt, walaupun Dia memiliki kemampuan, kekuatan, dan kekuasaan untuk melakukan pembalasan dan hukuman, akan tetapi Dia menyifatkan diri-Nya sebagai Pemaaf, dan kita semua memiliki kewajiban untuk menjiwai adab Allah Swt sebagai pemaaf, seperti yang dikatakan didalam firman-Nya : [dan Allah mempunyai sifat Yang Mahatinggi. Dan Dia Mahaperkasa, Mahabijaksana] (An-Nahl:60), begitu juga kewajiban kita untuk menjiwai akhlak Allah Swt, seperti yang dikatakan Imam Maksum as : ((Berakhlaklah dengan akhlak Allah Swt))[38], dan ketika Allah Swt menolong nabi-Nya Isa as, berfirman : ((Kebahagiaan dan kebaikan untukmu ketika kamu beradab dengan adab Tuhanmu))[39].

            Rasulullah saww bersabda : ((Rahmat dan kasih sayang Allah Swt kepada orang yang menolong anak-anaknya pada kebajikan, yakni memaafkan kesalahannya dan membimbingnya kepada kedekatan dengan Tuhan-Nya))[40].

6)     Bermusyawarah dan berperan serta aktif dalam mengungkapkan pendapat, Allah Swt berfirman: [dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian, apabila engkau telah membulatkan tekad, maka bertawakallah kepada Allah. Sungguh, Allah mencintai orang yang bertawakal] (Ali Imran: 156), dan banyak sekali puluhan ucapan Amirulmukminin as mengenai musyawarah[41], diantaranya : ((Berperan serta aktif dan bermusyawarah didalam perumusan pendapat membantu mendapatkan kebenaran)) (no. 1942) dan ((Kebenaran itu ada pada pihak orang yang berakal yang menyandarkan pandangannya pada pandangan/pendapat orang-orang berakal, serta menyatukan pada amalannya ilmu-ilmu ahli hikmah)) (no. 4920), dan ((Barangsiapa yang bermusyawarah dengan banyak orang, maka dia telah bermuswarah dengan akal-akal mereka)) (no. 8652), dan ((Tidak ada yang melahirkan kebenaran seperti apa yang dihasilkan dari musyararah)) (no.9527).

Dalam permasalahan hubungan antara orang tua dan anak-anaknya, telah banyak diungkapkan masalah ini dalam bahasa amiahnya ((Jikalau anak lelakimu sudah besar khowīh) maksudnya adalah Jadikan anak lelakimu saudaramu, jikalau dia sudah besar. Riwayat lain mengenai sifat pemaaf, begitupula riwayat dari Abu Abdillah as : ((Rasulullah saww bersabda : Lazim bagi kalian untuk menjadi pemaaf, karena sifat pemaaf tidak menambahkan bagi seorang hamba kecuali kemuliaan, maka saling bermaaf-maaflah kalian, sungguh Allah akan memuliakanmu))[42]. 

            Maka bagi para pengurus/mas’ūl/penanggungjawab, murabbi/pembimbing, muaddib untuk tidak menyandarkan pada pola pemberian hukuman sebagai langkah pertama dalam membimbing, akan tetapi harus menyeimbangkan antara pola memaafkan dan pola pemberian hukuman, karena sangat dimungkinkan bahwa cara memaafkan dari cara pemberian hukuman pada suatu perbuatan yang tidak diharapkan atau suatu kesalahan lebih bisa memberikan pengaruh pada anak-anak dalam proses pembinaan dan bimbingan.

7)     Berbuat baik kepada anak dan menolongnya pada kebaikan, seperti yang diajarkan oleh Imam Shodiq as dalam riwayat, belias as berkata: ((Seorang pria dari Anshor bertanya kepada Nabi saww: Kepada siapa aku harus berbuat baik? Rasul Saww menjawab : kepada kedua orangtuamu, lalu dia berkata : orangtuaku sudah meninggal dunia, Rasul saww menjawab : berbuat baiklah kepada anak-anakmu))[43].

Riwayat lain dari Yunus bin Ribāth dari Imam Shodiq as dari Rasulullah saww, bersabda: ((Allah Merahmati orang-orang yang membantu anak-anaknya kepada kebaikan, seseorang bertanya: aku bertanya : bagaimana seseorang tersebut membantunya kepada kebaikan? Nabi menjawab : dengan memberikan jalan kemudahan dan menghindari cara yang menyusahkan, tidak membebani yang lebih dari kemampuannya, dan tidak bersikap tidak hormat kepadanya))[44].

Riwayat lain dari Rasulullah saww, bersabda : ((Allah Swt merahmati seorang Ayah yang membantu anaknya pada kebaikan))[45]. Oleh sebab itu seorang pengurus dan penanggungjawab harus membantu rakyatnya kepada kebaikan dan ketaatan melalui pelaksanaan amanat yang dibebankan padanya dengan baik.

8)     At-Taṣābi dengan anak-anak : Kita menemukan beberapa riwayat mengenai prilaku orang tua ketika berinteraksi dengan anak-anaknya seperti bermain dengan mereka, dan At-Taṣābi disini bermakna menjiwai dirinya untuk bersama anak-anaknya dalam perasaan, gerakan dan interaksinya, sehingga perilaku seorang ayah dengan anaknya seakan-akan dia adalah seorang anak seperti anak-anaknya. Riwayat dari Rasulullah saww, bersabda : ((Barangsiapa yang memiliki anak maka berperilakulah dengan mereka seperti anak-anak))[46]. Riwayat lain dari Imam Ali as, berkata : ((Barang siapa yang memiliki anak bersikaplah seperti kanak-kanak ketika berinteraksi dengan mereka))[47].

Diriwayatkan dari Jabir bin Abdullan bin Anshori, berkata : ((Aku menemui Nabi saww, dan disana Al-Hasan as dan Al-Husein as sedang bermain menaiki punggung Nabi saww, dan beliau saww membungkuk serta merangkak (bermain kuda) untuk keduanya, dan bersabda : Kebaikan unta adalah ketika dikendarai kalian berdua, dan Pengendara (‘Idlān)[48] unta yang baik adalah kalian berdua))[49].

Diriwayatkan dari Sa‘ad bin Abi Waqas: ((Aku menemui Rasulullah saww dan bersamanya ada Al-Hasan as dan Al-Husein as, mereka berdua sedang bermain perut Rasul saww, kemudian aku berkata kepada beliau saww : wahai Rasulullah saww, apakah anda mencintai keduanya, Rasul saww menjawab: Apa jadinya aku kalau aku tidak mencintai keduanya, mereka berdua adalah dua raihanku))[50].

Dari Abu Hurairah : ((Kami sholat Isya bersama Rasulullah saww, ketika sujud, Al-Husan as dan Al-Husein as loncat keatas punggung Rasulullah saww, ketika Rasul saww menaikkan kepalanya dari sujud, beliau saww memegang keduanya dengan tangannya dari belakang dengan penuh kasih sayang, kemudian meletakkan keduanya pelan-pelan di sampingnya, ketika Rasul saww sujud kembali, mereka berdua mengulanginya, dan Rasul saww pun mengulanginya pula sampai akhir sholat, setelah selesai sholat Rasul saww meletakkan keduanya diatas pahanya))[51].

Jikalau kita menginginkan untuk mengambil makna tersebut kepada lapangan yang lebih luas lagi yakni kepada masyarakat umum, maka kita bisa memahami dari sifat ini  adalah penghilangan penghalang atau pembatas atau jurang pemisah antara pengurus/penanggungjawab dengan masyarakat, begitu juga bisa diambil sebuh makna  partisipasi langsung dan kerjasama dari para pengurus dalam aktifitas masyarakat, dan bersama-sama masyarakat dalam merasakan pedih, sedih dan senang. Yang dimaksud dalam penghalang-penghalang disini bukan hanya dari aspek materi akan tetapi aspek maknawi yakni menjadikan tabir penghalang dan sekat yang menghalangi sampainya kebutuhan orang-orang mazlum dan orang-orang yang membutuhkan tanpa adanya rasa iba pada mereka, kadang pula penghalang ini bisa berbentuk sebuah jurang pemisah dengan adanya kelompok elit dan bergengsi yang terpisah dari kaum selainnya, yang mana hal ini banyak dikenalkan di zaman bani Umayyah dan Abbasiah (sebagai suatu adat resmi kekhalifahan), dan banyak pula dalam hal ini ditulis buku-buku mengenai kehidupan kaum elit di zaman itu, istilah itupun dizaman sekarang sering dinamakan level, status dan kedudukan dalam masyarakat. Semua hal tersebut merupakan hal-hal yang dibuat-buat dalam hukum dan aturan, dan bukanlah dari tabiat dan ajaran para Nabi as, para Imam as dan para pewarisnya dari kaum ulama-ulama yang sholeh, dimana mereka tidak membedakan diri mereka sendiri dengan masyarakat sekitarnya , sepertihalnya Amirulmukminin menyifatkan mereka dengan ((Sifat-sifat pada kami/Imam maksum as ada seperti salah satu dari mereka/para ulama)). 

9)     Keadilan, dan kesamaan diantara mereka. Sebuah riwayat dari Nabi saww, bersabda : ((...Bertakwalah kepada Allah Swt dan berbuat adillah diantara anak-anak kalian...))[52], dari Rasul saww pun, bersabda : ((Sesungguhnya anak-anak kalian memiliki hak atas kalian, yakni berbuat adil diantara mereka seperti halnya kalian memiliki hak atas mereka yakni berbuat baik kepada kalian))[53].  Riwayat lain dari Rasul saww : ((Adillah kepada anak-anak kalian dalam pemberian))[54]. Riwayat lain dari Nabi saww juga: ((Sesungguhnya Allah Swt mewajibkan kepada kalian untuk berbuat adil kepada anak-anak kalian walaupun dalam masalah kecupan))[55]. Adapun riwayat dari Imam Shodiq as : ((Rasulullah saww melihat seorang pria, yang mana padanya ada dua anak kecil, pria tersebut mencium salah satunya dan meninggalkan yang lainnya, kemudian Nabi saww bersabda kepadanya: Mengapa tidak anda menyamakan (ciuman) pada keduanya?))[56]. Dari Nabi saww, bersabda : ((Barangsiapa yang memiliki anak perempuan, dan tidak pernah menyakitinya, tidak pula menghinanya, tidak juga melebihkan anak pria diatasnya, maka Allah Swt akan memasukkannya ke dalam Surga))[57]. Dari Sa‘ad bin Sa‘ad Al-Asy‘āri, berkata : ((Aku bertanya kepada Abulhasan Ar-Ridho as... aku berkata :jiwaku jadi temusan untukmu, wahai Imam , Bagaimana jika seseorang lebih mencintai anak putrinya dari anak putranya? Imam Ar-Ridho as menjawab : Anak putri dan putra adalah sama, hanya saja masing-masing diberikan kadar sesuai yang Allah Swt berikan kepada mereka berdua))[58].

Pada tataran pelaksanaan dan implementasinya, orang-orang yang memegang urusan dan tanggungjawab masyarakat wajib berlaku adil diantara mereka, maka dari itu tidak diperkenankan untuk membantu, memuji, mendekat sebagian dari mereka tanpa sebagian lainnya dikarenakan yang sebagiannya itu memiliki harta, kedudukan dan status.

10) Penghormatan, perbaikan akhlak serta keramahtamahan dalam berinteraksi, seperti yang disabdakan Nabi saww : ((Hormatilah anak-anakmu dan didiklah mereka dengan akhlak yang baik))[59]. Begitu juga sabdanya saww : ((Allah Merahmati seorang hamba yang membantu anak-anaknya kepada kebaikan dan berbuat baik kepada mereka, serta bersikap ramah, mendidiknya dan mengajari mereka adab yang baik))[60].

11) Menyayangi dan memiliki rasa Simpati, seperti yang diriwayatkan dari Imam Ali as , berkata: ((Wajib bagi kalian untuk menyayangi anak-anak kalian lebih dari menyayangi diri kalian sendiri))[61]. Selain itu, sifat ini sangat diperlukan dalam berinteraksi dengan seluruh makhluk di muka bumi ini, seperti halnya telah disebutkan didalam hadits Qudsi : ((Seluruh makhluk adalah keluargaku, maka cintaku kepada mereka lebih aku sayangi daripada kepada keluargaku sendiri))[62].

Sifat menyayangi ini memiliki kedudukan yang besar yang bisa dimiliki manusia, dimana dalam hal ini Allah Swt lebih mencintai makhluknya pertama tama kepada mereka yang mengasihani makhluk-Nya.

12) Menepati janji, seperti yang diriwayatkan dari Rasulullah saww, bersabda : ((Aku mencintai anak-anak kecil, dan aku menyayangi mereka, dan jikalau kalian berjanji dengan mereka pada sesuatu maka tepatilah janji tersebut, sesungguhnya mereka tidak mengerti (alasan apapun) kecuali sesungguhnya kalian pemberi rezeki bagi mereka))[63]. Imam Ali as berkata : ((Rasulullah besabda: Jikalau diantara kalian berjanji kepada anak kecil maka tepatilah janji itu))[64]. Dan riwayat dari Imam Ali as juga, berkata: ((tidak diperbolehkan berbohong baik itu dengan sungguh-sungguh atau senda gurau, dan janganlah diantara kalian berjanji kepada anak kecil kemudian tidak memenuhi janji tersebut, sesungguhnya dusta itu mengantarkan kalian kepada kemaksiatan, dan kemaksiatan membawa kalian ke neraka))[65]. Riwayat lain pula dari Abulhasan as, berkata : ((Jikalau kalian berjanji kepada anak-anak kecil, tepatilah janji tersebut untuk mereka, sesungguhnya mereka memandang bahwa kalian pemberi rezeki bagi mereka, sesungguhnya Allah Swt tidak akan marah (kepada kalian karena sesuatu seperti marah-Nya (kepada kalian) karena wanita dan anak-anak kecil))[66].

Demikian pula sikap para pengurus/penanggungjawab untuk menunaikan dan memenuhi janjinya kepada rakyatnya, yang mana janji tersebut telah dia tekadkan kepada dirinya (untuk dipenuhi), maka janganlah janji tersebut dijadikan sebagai sebuah bentuk penipuan supaya masyarakat memberikan suara mereka untuk memilihnya, kemudian melupakan mereka setelah dia mendapatkan apa yang dicarinya (dengan memperoleh suara).

13) Tidak mementingkan diri sendiri, seperti yang difirman Allah Swt : [dan mereka mengutamakan (Muhajirin), atas dirinya sendiri, meskipun mereka juga memerlukan](al-Hasyr: 9), oleh sebab itulah maka kedua orangtua bersedia untuk menahan lapar demi membuat anak-anaknya kenyang, mereka menahan rasa ngantuk dan tidur lelap demi menjadikan anak-anak mereka tidur lelap, merekapun berjuang keras banting tulang dalam memperoleh penghidupan  untuk kebahagiaan anak-anak mereka, dan begitupula para pengurus/penanggungjawab kepada rakyat dan masyarakat seperti halnya kedua orang tua tersebut kepada anak-anak kandungnya, dan hal inipun merupakan tabiat yang mana Sayyidah Zahra sa menyifatkan Amirulmukminin dalam khutbahnya, berkata sa : ((Beliau as tidak terpikat hatinya pada kekayaan dunia dan tidak menggunakan sesuatu dari dunia ini yang melebihi apa yang dibutuhkan, dan tidak pula mencari dan menggunakan dari dunia ini harta atau kekayaan orang lain selain air yang secukupnya untuk menghilangkan rasa hausnya dan makanan seadanya untuk menghilangkan rasa lapar))[67]. 

14) Beberapa sifat-sifat pengurus/penanggungjawab lainnya adalah : berlapang dada, seperti yang diisyarahkan oleh Amirulmuknin as: ((Perkakas jiwa pemimpin adalah berlapang dada))[68].

15) Dan Kelaziman lain yang diperlukan seorang pengurus dan penanggungjawab adalah apa-apa yang telah dikatakan Imam Shodiq as: ((Selama aku mencari kepemimpinan, aku menemukannya pada kebajikan bagi hamba-hamba Allah Swt))[69].

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 



 



[1] Ceramah Yang Mulia Marja‘ Ya‘qūbi (dāma żilluhu) dalam pertemuannya dengan para pemimpin kafilah haji, pada hari Senin 27 Syawal 1437 H/ 1 Agustus 2016.

[2]Sahih Muslim : 20/3/1459.

[3]Nahjul Balaghoh : khutbah ke-167.

[4]Bihar al-Anwār: 9-36/6, dan rincinya terdapat dalam khutbah pada tahap  9/64

[5]Ushul al-Kāfi: Jilid 1; kitab al-Hujjah, bab : Ma Yajibu min haqi al-imam ‘ala ar-ra‘iyyah  wa haqqi al-ra‘iyyah ‘ala al-imam.

[6]Ushul al-Kāfi : 1/ 46, cetakan baru.

[7] Mīzān al-Hikmah :1/134.

[8] Al-Kāfi : 2/100, hadits ke- 4

[9]Al-Barqi, Al-Mahāsin: 1/200, bab :al-mahbūbāt, hadits ke-15.

[10]Al-Kāfi: 6/49.

[11]Mustadrak al-Wasāil: 15/170, hadits ke- 17894.

[12]Ushul al-Kāfi: 6/50.

[13]Jawāhir al-Bihār, Kita ar-Rauḍah, bab : ‘Ahd Amirulmu‘minin as ila Al-Asytār hin wallāhu miṡr.

[14]Al-Kāfi:6/49.

[15] Al-Kāfi:6/49.

[16] Makarim al-Akhlaq: 220.

[17] Makarim al-Akhlaq: 220.

[18] Wasail as-Syiah : hadits ke- 27657.

[19] Mustadrak al-Wasail: 15/169, hadits ke- 17886.

[20] ‘Idat ad-Dā‘i: 87.

[21] Makārim al-Akhlāk: 220.

[22] Kanz  al-Ummal: 45958.

[23] Ghur al-Hikam : 2378.

[24] Nahj al-Balāghoh/ Al-Hikmah : 323.

[25] Tuhaf al-‘Uqūl :393.

[26] Al-Khazaz Al-Qummi / Ali bin Muhammad,  Kifāyah al-Ātsar: 240, Tahkik: Abdullatif al-Hasani, penerbit : Bidar, cetakan : Al-Khayyām, 1401 H.

[27] Al-Kāfi:2/117.

[28] Al-Kāfi:2/117.

[29] Al-Kāfi: 2/120.

[30] Kanz al-‘Ummal : 5393.

[31] Al-Kāfi : 2/120, hadits ke- 12.

[32] Al-Kāfi : 2/120, hadits ke- 13.

[33] Al-Kāfi : 2/ 120, hadits ke- 7.

[34] Al-Kāfi: 2/120, hadits ke- 16.

[35] As-Shadūq, Al-Khishāl: 111.

[36] Riwayat yang berhubungan dengan kandungan makna dalam Ayat seperti apa yang diriwayatkan Syeikh Thusi qs didalam kitabnya At-Tahżīb dengan sanad dari Amirulmukminin as, berkata : ((Sesungguhnya perang itu tipu muslihat...ketahuilah sesungguhnya Allah Swt berfirman kepada Musa as ketika Dia mengutusnya kepada Fi‘aun: [maka berbicaralah kamu berdua kepadanya (Fir‘aun) dengan kata-kata yang lemah lembut, mudah-mudahan dia sadar atau takut](Taha :44), Allah Swt sudah mengetahui bahwa Fir‘aun tak pernah mau sadar dan tidak pula akan merasa takut (dengan peringatan-Nya), akan tetapi ayat ini untuk menggerakkan Musa as pergi ke hadapan Fir‘aun untuk menyampaikan hujjah (At-Tahżīb :6/163/299), Allah Swt berfirman : [Sesungguhnya orang munafik itu hendak menipu Allah, tetapi Allah-lah yang menipu mereka] (An-Nisa: 142) – menghukum mereka dengan tipuan – dan ­al-khidā‘ seperti dalam kitab mufradāt ar-Rāghib : ((Menempatkan seseorang dengan apa yang dia inginkan pada suatu urusan yang diperlihatkan kepadanya tidak sesuai dengan apa yang tersembunyi baginya)), dan makar adalah : ((mengendalikan orang lain dengan apa yang dia inginkan berupa tipu muslihat, dan makar ini bisa disifati dengan hal yang baik bisa pula dengan hal yang buruk, tergantung dengan apa yang diinginkan darinya, dan memperdayakan makhluk dengan kenikmatan serta menunda-nunda (memperpanjang umur di dunia) bagian dari makar Allah Swt)).

 

[37] Hal tersebut berdasarkan kebanyakan yang terjadi, atau berdsarkan apa yang menjadi kecocokannya yang memperhatikan tingkatan-tingkatan, yang mana di sebagian tingkatannya adalah bersikap tegas, seperti yang dikatakan pernyair : Bermurah hati ketika waktu pedang terhunus keliru dan bahayanya seperti bersikap ketika menghunus pedang dalam keadaan tenang.

[38] Bihar Al-Anwār: 58/129.

[39] Al-Kāfi: 8/135.

[40] Al-Hilli, Ahmad ibn Fahd, Iddat ad-Dā‘i wa Najāh as-Sā‘i: 86, Muassasah Ar-Rasul Al-A‘dzam, Irak, Cetakan pertama, 2010 M.

[41] Hidayat al-Ilm fi Tandzim Ghurar al-Hikām: 311.

[42] Al-Kāfi: 2/108.

[43] Al-Kāfi: 6/49.

[44] Man La Yahdhuruhu al-Faqīh: 3/483, hadits ke- 4707.

[45] Mustadrak Al-Wasāil: 15/168, hadits ke- 17885.

[46] Man La Yahdhuruhu al-Faqih : 3/483, hadits ke- 4707.

[47] Al-Kāfi: 6/50.

[48] ‘Idlān adalah dua penyeimbang, dan ‘idl adalah satu sisi beban pada unta, dan dinamakan dengan ‘Idlān kepada kedua pengendara karena adanya kesamaan dalam penyeimbang beban unta.

[49] Ibn Syahr Asyub, Muhammad bin Ali, Manaqib Ali Abi Thālib: 3/158, Pentahkik : Lajnah Asatidzah Najaf Asyraf, Cetakan Haidariah, 1376 – 1956; At- Tabrāni, Sulaiman bin Ahmad, Al-Mu‘jām Al-Kabīr: 3/52, Tahkik: Abdulmajid As-Salafi, Dārul ihya at-Turats al-‘Arabi: cetakan kedua, 1404 H atau 1984 M.

[50] Haitsami, Majma‘ Az-Zawaid: 184/9, hukum rijal yang meriwayatkannya  rijal yang sahih.

[51] Hadits ke- 10669, lihatlah As-Sahihah: 3325, Al-Arnaūth: Isnadnya hasan.

[52] Kanz Al-Ummal: 16/445.

[53] As-Sunan Al-Kubra: dari Abu Dawūd.

[54] Kitab hadits Kholid bin Mirdas As-Sirāj/ hadits ke-12.

[55] Mizan Al-Hikmah: 4/3673.

[56] Man La Yahdhuru Al-Faqih: 3/483.

[57] Awali al-Laali : 1/181.

[58] Al-Kāfi: 6/51.

[59] Mustadrak al-Wasāil : 15/167, hadits ke- 17883.

[60] Mustadrak al-Wasāil : 15/167, hadits ke- 17883.

[61] Syarah Nahj al-Balāghoh: 20, hukum yang dinisbatkan kepada Amirulmukminin as, hadits ke-152.

[62] Da‘āim al-Islam: 2/320, hadits ke-1207, Syarah Nahj al-Balāghoh: 20/240, hadits ke – 893.

[63] Al-Kāfi:4/69.

[64] Mustadrak al-Wasāil: 14/170, hadits ke- 17893.

[65] Shadūq, Al-Amāli: 505, hadits ke-696, tahkik dari tim A d-Dirāsa Al-Islāmiah, Muassasah Al-Bi’ṡah, Tehran, cetakan ke-1, 1417 H.

[66] Al-Kāfi: 6/50.

[67] Al-Ihtijāj:1/139.

[68] Nahj al-Balāghah: 176.

[69] Mustadrak al-Wasāil: 12/172, hadits ke- 13810.