Khutbah Sholat Idul Fitri 1441 H

| |times read : 512
Khutbah Sholat Idul Fitri 1441 H
  • Post on Facebook
  • Share on WhatsApp
  • Share on Telegram
  • Twitter
  • Tumblr
  • Share on Pinterest
  • Share on Instagram
  • pdf
  • Print version
  • save

Khutbah Sholat Idul Fitri 1441 H

 أَمَّنْ يُجيبُ الْمُضْطَرَّ إِذا دَعاهُ وَ يَكْشِفُ السُّوءَ….

Bismihi ta’ala

Dua khutbah Sholat idul fitri tahun 1441 H

Atau siapakah yang memperkenankan (doa) orang yang dalam kesulitan apabila ia berdoa kepada-Nya, dan yang menghilangkan kesusahan dan yang menjadikan kamu (manusia) sebagai khalifah di bumi? Apakah disamping Allah ada tuhan (yang lain)? Amat sedikitlah kamu mengingati(Nya).[1](QS. An-Naml : 62)



Orang yang berada dalam kesulitan adalah orang yang mengalami kerugian yang berarti dalam keadaan buruk. Seperti yang dimaksudkan dalam potongan ayat …. Kerugian adalah lawan dari keuntungan, seperti halnya sempit (harta) lawan dari keluasan dan kelapangan. Kerugian bisa berupa materi, seperti kehilangan harta, kerugian fisik karena kehilangan anggota tubuh ataupun bisa merupa maknawi, karena kurangnya kepercayaan, ilmu, akhlak dan kedudukan sosial. Di sisi lain, kerugian dapat memengaruhi individu, seperti contoh-contoh yang telah kami sebutkan, juga dapat mempengaruhi masyarakat seperti perang, epidemi, kehilangan keamanan, penindasan negara, keruntuhan negara, kekacauan, ketakutan, sabotase ekonomi, pengangguran, kurangnya keadilan sosial. Kerugian sendiri bisa dipicu oleh faktor eksternal seperti penindasan, kekerasan, pemusnahan, serta ancaman, ataupun faktor internal seperti kelaparan yang menyebabkan kematian, Allah swt berfirman,

 “Maka barang siapa terpaksa karena kelaparan tanpa sengaja berbuat dosa, sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”. (QS. Al-Maidah:3)

 

“Tetapi barangsiapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”(QS. Al-baqarah:173)

            Ayat tersebut bertanya tentang siapa yang mampu memenuhi dan menjawab panggilan orang yang terpaksa keculai Allah swt. Pertanyaan tersebut merupakan pertanyaan yang bertujuan untuk menafikan serta menegaskan. Ditujukan kepada seluruh lapisan masyarakat, dimulai dari mereka yang mengingkari keberadaan Allah swt hingga mereka yang menjadikan sesuatu sebagai sekutu-Nya, dengan anggapan bahwa segala aturan peciptaan berada ditangan sekutu-sekutu Allah swt tersebut. Juga kepada mereka yang percaya kepada Allah swt, percaya kepada ke-esaan-Nya, namun mereka berpaling dari-Nya, bermaksiat kepada-Nya, selalu dalam keadaan lalai tidak menghadirkan keberadaan allah swt dalam kehidupannya. Sehingga ayat ini mengajak mereka berbicara dan berpikir, menyadarkan mereka bahwa walaupun mereka mengingkari dengan lisannya atau pun lalai terhadapnya, tapi keberadaan dan kebutuhan mereka membuktikan hal ini. Jadi, ayat ini menegaskan kepada mereka sebagai pendahuluan keimanan kepada keberadaan Allah swt, bahwa hanya Allah swt satu-satunya pengatur segala hal. Juga menafikan kekafiran dan kesyirikan mereka dengan menegaskan kebutuhan mereka kepada Allah swt.

Dan apabila manusia ditimpa bahaya dia berdoa kepada Kami dalam keadaan berbaring, duduk atau berdiri, tetapi setelah Kami hilangkan bahaya itu daripadanya, dia (kembali) melalui (jalannya yang sesat), seolah-olah dia tidak pernah berdoa kepada Kami untuk (menghilangkan) bahaya yang telah menimpanya. Begitulah orang-orang yang melampaui batas itu memandang baik apa yang selalu mereka kerjakan. (QS. Yunus:12)

 

Dan apabila kamu ditimpa bahaya di lautan, niscaya hilanglah siapa yang kamu seru kecuali Dia, Maka tatkala Dia menyelamatkan kamu ke daratan, kamu berpaling. Dan manusia itu adalah selalu tidak berterima kasih. (QS. Al-Isra’:67)

 

Dan apabila manusia disentuh oleh suatu bahaya, mereka menyeru Tuhannya dengan kembali bertaubat kepada-Nya, kemudian apabila Tuhan merasakan kepada mereka barang sedikit rahmat daripada-Nya, tiba-tiba sebagian dari mereka mempersekutukan Tuhannya, (QS. Ar-Rum:33)

Maka apabila manusia ditimpa bahaya ia menyeru Kami, kemudian apabila Kami berikan kepadanya nikmat dari Kami ia berkata: "Sesungguhnya aku diberi nikmat itu hanyalah karena kepintaranku". Sebenarnya itu adalah ujian, tetapi kebanyakan mereka itu tidak mengetahui. (QS. Az-Zumar:49)

Dan apa saja nikmat yang ada pada kamu, maka dari Allah-lah (datangnya), dan bila kamu ditimpa oleh kemudharatan, maka hanya kepada-Nya-lah kamu meminta pertolongan. (QS. An-Nahl:53)

Manusia menyadari dengan nalurinya ketika dia jatuh dalam bahaya dan penderitaan bahwa ada sebuah kekuatan yang bijaksana, penuh kasih, yang tak terlihat hadir bersamanya dan menyadari kondisinya. Kekuatan ini dapat mengulurkan tangan belas kasih kepadanya dan menyelamatkannya dan tidak ada yang bisa menghalanginya, mengabulkan jika meminta kepadanya, tidak mengharap balasan ataupun ucapan terimakasih.. Situasi di mana seseorang ditaham dalam sel yang gelap, disiksa para tiran, atau ketika kapal yang ia tumpangi hancur diterjang badai, atau pesawat yang ia tumpangi mengalami kerusakan di atas langit, atau yang mempunyai penyakit mematikan yang menyebabkannya mendekati kematian dan situasi-situasi sulit lainnya sebagaimana yang digambarkan dalam doa Jausyan Shagir.[2]


Ayat tersebut mencoba membangkitkan perasaan sentimental dan emosional manusia sehingga dapat membawanya lebih dekat kepada hidayah dan kebenaran. Para maksum as juga melakukan metode yang sama untuk membangkitkan fitrah suci manusia yang mengajak kepda keimanan kepada Allah swt dan berharap hanya pada-Nya.

Diriwayatkan bahwa ada seorang laki-laki berkata kepada Imam Sadiq as,”Wahai putra Rasulullah saw, tunjukkanlah aku kepada Allah swt!, karena orang-orang membuatku bingung”. Imam Sadiq as bersabda,”Wahai hamba Allah swt!, apakah engkau pernah naik sebuah perahu?,” ia menjawab,”Iya wahai putra Rasulullah.” Imam as bertanya lagi,”Apakah perahumu pernah rusak di tengah lautan, dan tidak ada perahu lain yang akan menolongmu?,” laki-laki itu menjawab,”Iya.” Kemudian Imam as bertanya lagi,”Apakah hatimu berharap ada sesuatu yang dapat menolongmu dalam keadaan seperti itu?,” laki-laki itu menjawab,”Iya,” kemudian Imam as bersabda,”Sesuatu itu adalah Allah swt yang mampu menyelamatkan disaat tidak ada penyelamat lagi dan menolong disaat tidak ada penolong.”[3]

Diriwayatkan dalam kitab dur al-mantsur bahwa seorang laki-laki bertanya kepada Rasulullah saw, “Wahai Rasulullah!, kepada siapa kita berdoa?”, Rasulullah saw menjawab,”Berdoalah kepadah Allah swt, jika Engkau mendapat kesulitan kemudian engkau berdoa kepada-Nya, Dia akan membukakan jalan untukmu, jika engkau tersesat di tengah gurun kemudian engkau berdoa kepada-Nya, Dia akan mengembalikanmu kepada jalanmu, jika engkau mengantuk lalu engkau berdoa kepadanya, maka Dia akan menghilangkannya untukmu.”[4]

Seorang yang adil akan merasa malu dihadapan Allah swt ketika membaca ayat mulia ini. Karena pengingkaran dan penolakan manusia terhadap Allah swt, kemudian Allah swt menggunakan kebenaran-kebenaran yang disebutkan untuk membangkitkan dan menyadarkan perasaan dan naluri mereka untuk membimbing mereka menuju keimanan kepada-Nya swt. Kebenaran-kebenaran inilah yang dijelaskan dalam beberapa ayat Al-Quran sebelum ditanyakan. Allah swt berfirman,” Dan jika Allah menimpakan sesuatu kemudharatan kepadamu, maka tidak ada yang menghilangkannya melainkan Dia sendiri.” (QS.Al-An’am :17) (QS. Yunus:107)



Oleh karena itu kita tidak heran ketika Amirul Mukminin Ali as merasa heran atas penentangan manusia ketika mendengar ayat, “Atau siapakah yang telah menciptakan langit dan bumi dan yang menurunkan air untukmu dari langit, lalu Kami tumbuhkan dengan air itu kebun-kebun yang berpemandangan indah, yang kamu sekali-kali tidak mampu menumbuhkan pohon-pohonnya? Apakah disamping Allah ada tuhan (yang lain)? Bahkan (sebenarnya) mereka adalah orang-orang yang menyimpang (dari kebenaran).” (QS.An Naml:60)

Ibn Syahri Asyub meriwayatkan dari Anas bin Malik,”Ketika ayat kelima dari ayat Tha’ Sin turun, Ali bin Ai Thalib as melompat bangkit seperti burung, Rasulullah saw bertanya kepadanya,”Ada apa wahai Ali?”, kemudian Ali as menjawab,” Wahai Rasulullah aku heran dengan kekafiran manusia dan kesabaran Allah swt.” Kemudian rasulullah swt mengusapnya dengan tangannya, kemudia bersabda,”Wahai Ali, bergembiralah!, sesungguhnya tidak ada seorang mukmin yang akan membencimu dan tidakada seorang munafik yang akan mencintaimu, jika bukan karenamu partai Allah swt tidak akan dikenal.”[5] Nanti jawaban dari kabar gembira ini akan dijelaskan.

Di dalam ayat tersebut seseorang disebut dalam keadaan sulit karena dalam keadaan tersebut ia terputus dari harapan, dan tidak ada harapan lain kecuali Allah swt. Keadaan ini membantunya untuk merealisasikan salah satu syarat dikabulkannya doa yaitu perhatian dan pendekatan yang murni kepada Dzat yang di tangannyalah kunci dan kendali segala sesuatu. Sehingga terjadi kesesuaian antara ucapan doanya dengan keadaannya yang fokus secara fitri kepada Allah swt. Dengan ibarat lain, kesesuaian antara permintaan takwini melalui fitrahnya dengan permintaan tasyri’i melalui fokus dan khusyu’, sehingga permohonannya dikabulkan dengan izin Allah swt.

Agar doa dikabulkan ada beberpa syarat yang harus dipenuhi:

1.      Hanya berharap kepada Allah swt dan khusyu’. Keadaan sulit membantu terealisasinya hal ini.

2.      Adanya doa dan permintaan sehingga dikabulkan. Permintaan ini harus diniatkan dan ditujukan hanya kepada Allah swt, tidak kepada selain-Nya. Tapi, ini bukan berarti bahwa Allah swt hanya akan memberi ketika diminta saja, Dia memberi nikmat dan kebaikan yang tidak diminta (Wahai yang memberi mereka yang tidak meminta-Nya dan yang tidak mengenal-Nya, sebagai rasa sayang dan belas kasih kepadanya[6]). Jadi jumlah (Ketika berdoa kepada-Nya) menjelaskan apa yang dibutuhkan saja, bukan merupakan sebab utama dari terkabulnya doa. Bisa jadi syarat ini tidak memiliki konsep sama sekali, dan hanya disebutkan untuk menjelaskan hal yang diperlukan untuk terealisasinya sesuatu sebagaimana istilah dalam ilmu usul.

3.      Permintaan harus mendatangkan kebaikan, menjauhkan bahaya dan kerugian dan yang maslahat terhadap seorang hamba. Jika ia berdoa dan meminta hal yang bertentangan dengan maslahatnya, maka doanya tidak akan dikabulkan.

 

Perincian yang disebutkan dalam ayat ini menunjukkan apa yang ayat-ayat lain jelaskan tentang syarat dikabulkannya doa, seperti firman Allah swt, “Berdoalah kepadaKu, niscaya akan Aku kanulkan,” (QS. Ghafir : 60) dan Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku.” (Al-Baqarah :186).

 

Keadaan sulit adalah kondisi pendekatan jarak dalam jalan kesempurnaan. Yang memberikan seorang hamba potensi untuk kedudukan dan derajat yang tinggi, jika menggunakan kesempatan ini dengan baik. Jatuh dalam kondisi ini, walaupun sulit dijalani dan merasa tertekan, namun hal itu merupakan sebuah kenikmatan kepada seorang hamba. Mengembalikan ia kepada Allah swt, menyadarkannya dari kelalaian yang disebabkan oleh kesibukan dunia. Ini salah satu cara untuk memahami hadis imam Sadiq as,”Keadaan sulit adalah agama itu sendiri.[7]” Karena manusia dengan kondisi sulit sampai kepada kebenaran.

Dan jika seseorang memiliki basirah, ia akan tahu bahwa dalam setiap waktu, ia berada dalam kondisi yang sulit, karena kebutuhannya akan segala sesuatu. Tetapi karena ia sudah terbiasa hidup dalam limpahan nikmat, sehingga ia lalai dengan fakta ini dan tidak memperhatikannya kecuali jika ia jatuh dalam bahaya dan kesulitan.

Dan apabila manusia ditimpa bahaya dia berdoa kepada Kami dalam keadaan berbaring, duduk atau berdiri, tetapi setelah Kami hilangkan bahaya itu daripadanya, dia (kembali) melalui (jalannya yang sesat), seolah-olah dia tidak pernah berdoa kepada Kami untuk (menghilangkan) bahaya yang telah menimpanya. Begitulah orang-orang yang melampaui batas itu memandang baik apa yang selalu mereka kerjakan. (QS. Yunus:12)

 

Dari apa yang telah kami sebutkan bahwa beberapa kerugian sosial dan kemalangan menimpa seluruh bangsa, salah satu aspek yang sesuai  dapat diketahui antara bagian dari ayat ini dan setelahnya Allah SWT: [Dia menjadikan Anda penerus bumi] Allah swt tidak hanya menyelamatkan Anda dari bahaya sosial seperti penjajahan dan hilangnya keamanan dan keadilan sosial, tersebarnya kejahatan dan kezaliman di muka bumi, ketakutan dan kurangnya kesempatan untuk kehidupan yang bebas dan layak, bahkan Dia membuat anda – generasi yang saleh – sebagai khalifah, penguasa dan pewaris bumi, sebagaimana Bani Israel diselamatkan dari tirani Firaun dan ahli waris mereka mewarisi tanah-tanah dan rumah-rumah mereka.

Penobatan kepemimpinan tersebut merupakan penobatan khusus, selain penobatan umun yang merupakan alas an utama penobatan manusia sebagai khalifah Allah swt di muka bumi, “sesungguhnya Aku menjadikan khalifah di muka bumi” (QS. Al-Baqrah 30), memanfaatkan semua sumber daya dan kemampuan di bumi yang tersedia bagi manusia dan dalam kekuasaannya, “Dan Dia telah menundukkan untukmu apa yang di langit dan apa yang di bumi semuanya, (sebagai rahmat) daripada-Nya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang berfikir.” (QS. Al- Jatsiyah :13)

 

Bagaimana semanusia bisa lalai terhadap Tuhannya, yang telah melimpahkan kepadanya semua nikmat itu. Maka ia bertanya-tanya di akhir ayat dengan takjub dan kecaman dari kelalaian kepada Allah Yang Mahakuasa yang telah memberikan semua nikmat ini, “Apakah disamping Allah ada tuhan (yang lain)? Amat sedikitlah kamu mengingati(Nya).” (QS. An-Naml: 62).

Mungkin aspek hubungan konteks ini lebih dekat daripada yang lain ([9]) dengan kemunculan ayat tentang penobatan khusus yang dijanjikan Allah swt. Allah swt berfirman, “Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang saleh bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa dimuka bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridhai-Nya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka dalam ketakutan menjadi aman sentausa. Mereka tetap menyembahku-Ku dengan tiada mempersekutukan sesuatu apapun dengan Aku. Dan barangsiapa yang (tetap) kafir sesudah (janji) itu, maka mereka itulah orang-orang yang fasik.” (QS. An-Nur : 55)

 

Apa yang membuat aspek ini lebih dekat adalah bahwa itu lebih sesuai untuk masalah Imam Al Mahdi as yang mana ayat itu ditafsirkan seperti yang akan datang.

 

      Selain dari apa yang akan kami sebutkan sebelumnya,  alasan terkejutnya Amirul Mukmini Ali as ketika ia mendengar firman Allah swt: [Dan Dia akan menjadikan Anda penerus negeri] Ini adalah tiga dalil yang mendekatkan klaim kami.

Penerus Allah swt dimuka bumi yang dijanjikan untuk hamba-hamba yang saleh, adalah tugas dan tanggung jawab yang besar. Diriwayatkan dari Syeikh Mufid dan Syeikh Thusi dari Imran bin Hasin,”Aku dan Umar bin Khattab sedang duduk di Bersama Nabi saw, dan Ali as duduk di samping beliau saw, Nabi saw sedang membaca ayat “siapakah yang akan menjawab panggilan orang-orang yang dalam kesusahan?”, ketika ayat kelima dari ayat Tha’ Sin turun, Ali bin Ai Thalib as melompat bangkit seperti burung, Rasulullah saw bertanya kepadanya,”Ada apa wahai Ali?”, kemudian Ali as menjawab,” Wahai Rasulullah aku heran dengan kekafiran manusia dan kesabaran Allah swt.” Kemudian rasulullah swt mengusapnya dengan tangannya, kemudia bersabda,”Wahai Ali, bergembiralah!, sesungguhnya tidak ada seorang mukmin yang akan membencimu dan tidakada seorang munafik yang akan mencintaimu.”[8]

Diriwayatkan dari Buraidah,”Nabi saw membaca sebuah ayat, dan Ali as sedang duduk disampingnya “Atau siapakah yang memperkenankan (doa) orang yang dalam kesulitan apabila ia berdoa kepada-Nya, dan yang menghilangkan kesusahan dan yang menjadikan kamu (manusia) sebagai khalifah di bumi? Ali as kemudian bangkit seperti seekor burung. Nabi bertanya kepadanya,”Wahai Ali mengapa engkau kaget?” Ali as menjawab,”Bagaimana aku tidak kaget wahai Rasulullah, engkau berkata dan yang menjadikan kamu (manusia) sebagai khalifah di bumi?.” Nabi saw berkata,”Jangan kaget, karena sesungguhnya seorang mukmin tidak akan membencimu dan seorang kafir tidak akan mencintaimu.”[9]

Dikatakan bahwa jawaban Rasulullah saw adalah untuk menenangkan Imam Ali as bahwa ia akan mengeman tanggung jawab khilafah dengan sebaik-baiknya. Sebagaimana beliau saw menjamin keadilan imam Ali as, karena pemimpin yang adil dicintai oleh mukmin dan dibenci oleh kafir.[10]

Terkejutnya imam Ali as karena dua alasan, yang pertama ketika mendengar ayat Atau siapakah yang memperkenankan (doa) orang yang dalam kesulitan, karena manusia masih tetap melakukan perbuatan dosa dengan seluruh kenaikmatan dan kebaikan yang Allah swt berikan. Yang kedua, ketika mendengar ayat dan yang menjadikan kamu (manusia) sebagai khalifah di bumi, karena beratnya tugas dan tanggung jawab.

Oleh karenanya, Imam Mahdi as adalah sosok sempurna sebagai misdaq dari ayat-ayat tersebut menurut beberapa riwyat yang akan disebutkan, karena beberapa alasan:

1.      Termasuk  yang memiliki ma’rifat sempurna [11]tentang Allah swt, sehingga beliau selalu dalam keadaan hanya berharap kepada Allah swt, tidak hanya dalam keadaan susah saja.

2.     Karena beliau afs berada dalam kesulitan terbesar, rasa sakit, dan kerugian yang disebabkan oleh apa yang dilihat dari kekacauan, pemberontakan manusia dan penyimpangan mereka dari kebenaran, keluar dari hidayah bahkan termasuk mereka yang mengaku sebagai pengikutnya, penyebaran ketidakadilan, kerusakan di darat dan laut, serta rasa sakit terhadap apa yang dialami umat manusia secara umum dan pengikutnya secara khusus.

3.     Karena beliau adalah khalifah yang dijanjikan Allah swt di muka bumi, untuk menegakkan keadilan dan kebenaran serta menghapus kezaliman dan kerusakan.

Dalam sebuah hadis imam Baqir as bersabda,”Demi Allah!, seakan-akan aku sedang melihatnya, ia sedang menyandarkan punggungya ke sebuah batu kemudian berkata, Wahai manusia siapa yang akan mendebatku tentang Allah swt? Akulah orang yang terdekat dengan Allah swt, siapa yang ingin mendebatku dengan Adam as?, aku orang terdekat dengan Adam as, siapa yang ingin mendebatku dengan Nuh?, aku orang terdekat dengan Nuh. Siapa yang ingin mendebatku dengan Ibrahim as? aku orang terdekat dengan Ibrahim as. Siapa yang ingin mendebatku dengan Musa as?, aku orang terdekat dengan Musa as. Siapa yang ingin mendebatku dengan Isa as?, aku orang terdekat dengan Isa as. Siapa yang ingin mendebatku dengan Muhammad saw?, aku orang terdekat dengan Muhammad saw. Siapa yang ingin mendebatku dengan kitabullah?, aku orang terdekat denga kitabullah. Kemudian ia berhenti pada suatu tempat dan solat dua rakaat. Imam baqir as bersabda,”Dialah yang dimaksudkan dalam ayat, Atau siapakah yang memperkenankan (doa) orang yang dalam kesulitan apabila ia berdoa kepada-Nya, dan yang menghilangkan kesusahan dan yang menjadikan kamu (manusia) sebagai khalifah di bumi?, ayat ini turun tentangnya dan untuknya.”[12]

Diriwayatkan dari Imam Sadiq as, ”Sesugguhnya Al-Qaim as, jika keluar, akan memasuki masjidil haram menghadap kiblat menyandrkan punggungnya di maqam, solat dua rakaat kemudian berdiri dan berkata, wahai manusia!, Aku adalah orang yang paling dekat dengan Adam, aku adalah orang yang paling dekat dengan Ibrahim, aku adalah orang yang paling dekat dengan Ismail, aku adalah orang yang paling dekat dengan Muhammad saw. Kemudian ia mengangkat kedua tangannya dan berdoa. Dialah yang dimaksud ayat Atau siapakah yang memperkenankan (doa) orang yang dalam kesulitan apabila ia berdoa kepada-Nya, dan yang menghilangkan kesusahan dan yang menjadikan kamu (manusia) sebagai khalifah di bumi?.”[13]

Jika kita benar-benar hidup dalam keadaan kesusahan dan kebutuhan terhadap kemunculan Imam Mahdi afs serta tegaknya negara yang mulia, kemudian kita berdoa untuk kemunculan beliau, maka pasti terjadi. Dan pada hari itu bahagialah orang-orang mukmin (QS. Ar-Rum : 4)

Kata-kata dan doa para maksum yang disertai dengan kondisi kesulitan dan kesusahan dan harapan hanya pada Allah swt. Seperti ketika nabi berdoa dlam perang Badar, dimana jumlah musuh berkali-kali lebih banyak dari jumlah kaum muslimin, yang mana Imam Husain as juga berdoa dengan doa ini pada hari Asyuro. (Ya Allah, Engkau adalah kepercayaanku dalam setiap kesedihan, Engkau adalah harapanku dalam setiap kesulitan, Engkau adalah kepercayaan dan cadanganku dalam setiap hal yang telah menimpa diriku. Betapa dahsyatnya kesedihan yang karenanya hati menjadi tidak berdaya dan solusinya berkurang, diri serta orang lain tidak dapat menolongnya, musuh menjadi kuat, melelahkan kita. Aku adukan semuanya kepada-Mu, berpaling dari selain-Mu, kemudian Engkau hilangkan semuanya, Engkau bukakan jalan keluar. Engaku adalah wali dari segala nikmat, pemilik seluruh kebaikan dan akhir dari segala keinginan).[14]

Doa imam Sajjad as (يا من تحَلّ به عقد المكاره) yang dibaca oleh para imam Ahlulbait as. Diriwayatkan dari sayid ibn Thawus dalam kitab Muhji Da’awat bahwa Yasa’ bin Hamzah Qumi menulis surat kepada imam al-Hadi as mencritakan tentang ancaman pembunuhannya oleh Menteri Khalifah Abbasiyah. Kemudian Imam Hadi as menulis jawaban,”Tidak usah khawatir, berdoalah dengan doa ini, Allah swt akan segera menelamatkan dan membebaskanmu. Seseungguhnya keluarga Muhammad saw berdoa dengan doa ini ketika turun bencana, adanya musuh, ketika sangat mmembutuhkan, serta dalam keadaan susah. Kemudian ia membaca doa ini di awal pagi, tidak berselang lama, ia dibebaskan dan dimuliakan.

Dan doa Imam Al-Kazim as, yang menderita siksaan psikologis dan fisik yang paling parah di penjara Thamoura[15] yang gelap gulita, sehingga tidak dapay membedakan siang dan malamdalam kurungan Harun Al-Abbasi, beliau as bermunajat kepada Allah swt (wahai tuanku, bebaskanlah aku dari kurungan Harun, dan selamatkanlah aku dari tangannya, wahai penyelamat pohon diantara pasir, lumpur dan air, wahai memisahkan susu dari darah, dan wahai penyelmat anak dari antara plasenta dan rahim, dan hai penyelamat Api dari antara besi dan batu, dan wahai Juru Api dari antara besi dan batu, dan hai Juruselamat jiwa dari antara besi dan batu, wahai penyelamat ruh, selamatkan aku dari tangan Harun).[16]  

Dan salah satu panggilan minta pertolongan dalam kondisi kesusahan yang tidak akan mengecewakan (Wahai penolong dari para peminta pertolongan). Almarhum Syeikh Ahmad Al-Waili menceritakan sebuah cerita tentang pengaruh doa ini. Pada suatu hari ada seorang raja yang sedih, dadanya terasa sesak namun ia tidak mengetahui apa penyebabnya. Semua orang disekitarnya erusaha untuk membuatnya senang dan mengembalikan keceriaannya dengan berbagai cara, namun tidak ada yang berhasil. Kemudian raja menyuruh mereka untuk menyiapkan sebuah perahu agar ia bisa berjalan-jalan di laut sehingga keadaanya dapat membaik. Mereka menyiapkan segala keperluan dan mulai berlayar. Di tengah laut mereka mendengar seseorang berteriak minta tolong. Raja memerintahkan bawahannya untuk menghampiri sumber suara dan menyelamatkannya. Kemudian mereka membanya kehadapan raja, raja bertanya tentang kejadian yang menimpanya. Orang itu menceritakan,” Kita berada dalam sebuah perahu, kemudian badai menerjang perahu. Perahu rusak dan semua penumpang tenggelam ke laut keculi aku yang sedang berteriak meminta pertolongan kepada Allah swt: يا غياث المستغيثين أغثني hingga kalian datang dan menyelamatkanku.

 

 

 

 



[1] Dua khutbah idul fitri 1441 H, yang dilaksanakan di kantornya dengan terbatas dan mengikuti protokol kesehatan virus corona

[2] Mafatihul Jinan:106, Biharul Anwar, jil. 48, hal 219

[3] Biharul Anwar jil. 3 hal.41

[4] Tafsir ibn Kasir jil.3 hal. 382

[5] Burhan fi tafsiril Quran jil. 7 hal. 172

[6] Doa ma’ruf di bulan Rajab

[7] Jamiu sa’adat jil. 3 hal. 293

[8] Burhan fi tafsiril Quran jil. 3 hal. 173

[9] ibid

[10] Al-furqon fi tafsiril Quran jil.21 hal. 279

[11] Zirah jamiah kabiroh

[12] Kitab al-Ghaibah, an-Nu’mani

[13] Tafsirul Burhan hal. 173

[14] Biharul anwar jil. 4 hal. 45

[15] Salah satu penjara dimana beliau as dipenjarakan, seperti yang disebutkan dalam ziarahnya yang dinukil oleh ibn Thawus dalam kitab Misbah Zair (Biharul anwar jil.17 hal.99)

[16] Biahrul anwar jil.48 hal. 219