Marja‘ Ya‘qubi hf: Pentingnya Menjaga Sistem Sosial Masyarakat Umum dan Peran Fakih di dalamnya

| |times read : 454
  • Post on Facebook
  • Share on WhatsApp
  • Share on Telegram
  • Twitter
  • Tumblr
  • Share on Pinterest
  • Share on Instagram
  • pdf
  • Print version
  • save

Marja‘ Ya‘qubi hf: Pentingnya Menjaga Sistem Sosial Masyarakat Umum dan Peran Fakih di dalamnya

 

Dengan Menyebut Nama-Nya

Pentingnya Menjaga Sistem Sosial Masyarakat Umum dan Peran Fakih didalamnnya

            Para Fukaha sering menyebutkan konsep (Penjagaan Sistem Sosial Masyarakat Umum). Mereka menjadikan hal tersebut sebagai hukum yang bersifat umum (sebagai tolak ukur dan pedoman). Pembahasan mengenai penjagaan tatanan sosial ini memang tidak disebutkan secara jelas didalam riwayat yang mulia, akan tetapi para Fukaha menjadikannya sebagai suatu konsep kolektif yang mencakupi segala permasalahan untuk kemaslahatan umum dan kebaikan pada lembaga-lembaga yang didirikan dalam merealisasikan kemaslahatan tersebut, yang mana pemilik syariat yang suci sangat memperhatikan lembaga-lembaga tadi, karena didalamnya tercermin usaha dalam menata urusan masyarakat, mencari solusi permasalahan kehidupan mereka, memakmurkan suatu negeri dan mememperluas wilayah keamanan dan kestabilan serta kemajuan umat.

            Perhatian pemilik syariat (Allah Swt) terhadap hal tersebut, bisa kita lihat dalam banyak riwayat yang ada pada pembahasan bab-bab fiqih yang bermacam-macam, seperti bab urusan tanah, pertanian, penghasilan, pemasalahan amr makruf nahi munkar (perintah pada kebaikan dan pelarangan dari kemungkaran), dan juga hukum-hukum yang bersifat umum seperti permasalahan air, harta/kekayaan yang dihasilkan dari alam, jalan untuk publik, dan tanah umum yang tak dimiliki, dan selainnya. Akan tetapi para fukaha belum menyusun kandungan-kandungan riwayat tersebut didalam aturan, ketentuan, dan teori yang baku dalam pembahasan politik, ekonomi, sosial kemasyarakatan dan administrani negara, dan lain sebagainya, mereka hanya menyusun permasahan-permasalahan tersebut didalam pembahasan fiqih yang tersebar diberbagai macam bab-bab fiqih, walaupun hal yang dasar dari segala permasalahan tersebut telah ada dalam benak para fukaha, yang mereka namakan sebagai konsep penjagaan sistem sosial masyarakat umum, dan kami berharap kepada generasi yang tersadarkan dirinya untuk menyusun dan menata ulang sistem Islam dengan mengumpulkan dan memperbaiki segala perbahasan yang berceceran tersebut.

            Dalil yang telah disebutkan itu, tidak berbeda halnya dengan dalil yang ada pada pembahasan perintah dalam menjaga  martabat manusia dan dalil pada pembuktian kebenaran tauhid, yang mana dalil-dalil tersebut termasuk bagian dari dalil-dalil hakimah (dalil-dalil yang harus didahulukan dari yang lainnya, karena dalil ini mendominasi dalil-dalil lainnya) terhadap dalil-dalil lainnya, seperti aturan konstitusi yang mendominasi aturan-aturan lainnya, maka tidak diperkenankan adanya aturan yang berlawanan dengan aturan pokok konstitusi tadi, misalnya: kalau pembangunan fasilitas publik yang sangat diperlukan untuk kehidupan masyarakat seperti pembangunan jalan umum mengharuskan untuk memiliki kepemilikan tanah atas beberapa properti pribadi, dan mereka menolak untuk menjual kepemilikan tanah tersebut kepada negara, maka seorang fakih akan memutuskan bahwa kepemilikan tanah tersebut dikuasai negara, meskipun sebelumnya dimiliki oleh beberapa orang sebelumnya, berikut negara dapat mengambil hak kekhususan mereka atas tanah tersebut, akan tetapi sebagai gantinya negara memberikan uang yang sesuai dan sepadan kepada mereka, dan mereka tidak memiliki hak untuk menolak penjualan sebidang tanah tersebut yang dimiliki mereka sebelumnya, dan juga mereka tidak memiliki hak untuk menggunakannya lagi. Dari hal tersebut, kita bisa melihat langkah awal yang dilakukan Amirulmukminin as ketika baru menduduki kursi kekhalifahan, beliau as merilis dan menyita seluruh kekayaan dan properti tanah, yang mana Utsman bin affan telah memberikannya kepada keluarga terdekat dan para pejabat yang berpengaruh, karena kekayaan dan properti tersebut pada hakikatnya adalah milik publik, yang mana tidak seorangpun memiliki hak untuk memonopoli dan mengklaim kepemilikannya, kecuali dengan memperbaiki dan memakmurkannya, seperti halnya yang telah diatur didalam syariat Islam.

Keberadaan prinsip-prinsip tersebut membuktikan bahwa islam adalah agama yang mencakup urusan negara dan menjunjung tinggi martabat manusia dan keadilan, dan juga agama yang memakmurkan kehidupan manusia seluruhnya serta membangun masyarakat yang penuh dengan kebahagiaan dan percayaan diri, serta membangun negara untuk maju dan berkembang, dari sinilah kita bisa melihat bahwa Islam bukanlah agama yang terbelakang dan stagnan. Oleh sebab itulah ketentuan-ketentuan agama menjamin segala hal, termasuk aturan dalam pembentukan sebuah negara yang bermartabat serta menjaga kebebasan manusia yang salih, seperti dalam firman Allah Swt  ((Dia telah menciptakanmu dari bumi (tanah) dan menjadikanmu pemakmurnya…)) (Hud:61), dan juga menghilangkan segala kesulitan yang merintangi hal-hal tersebut, seperti yang difirmankan-Nya ((Dan sungguh, Kami telah memuliakan anak cucu Adam)) (Al-Isra :70), oleh sebab itu, sesuatu yang termasuk dalam perkara terbesar dari hal-hal yang diharamkan dalam syariat adalah pelanggaran terhadap sistem tatanan sosial masyarakat umum, melakukan kekacauan dan pengrusakan elemen atau lembaga-lembaga negara dan pemerintahan rakyat serta lembaga militer, begitu juga hal-hal yang menyebabkan kegelisahan, kekhawatiran, keresahan, ketakutan dan kepanikan masyarakat, serta aksi dan perbuatan  yang bisa menyebabkan hilangnya keamanan dan stabilitas, karena hal-hal tersebut sebagai alamat perlawanan dan permusuhan terhadap kehendak pemilik syariat yang suci (Allah Swt).

            Para Imam as telah mengajari para pengikutnya untuk membedakan antara negara dan kekuasaan, bahwa sesungguhnya penolakan terhadap kekuasaan yang zalim dan perlawanannya serta sikap tidak mengakui legitimasinya tidak mengharuskan terjadinya permusuhan terhadap lembaga-lembaga negara yang masih melayani kebutuhan masyarakat umum, seperti kebutuhan kesehatan dengan adanya rumah sakit, atau pendidikan dengan adanya sekolah, tatanan kota, fasilitas jalan umum, penjagaan batas teritorial negara dan keamanan dalam negeri serta tempat perdagangan dan usaha penghasilan masyarakat seperti pasar, dan selainnya, dalam hal   ini para Imam Maksum as tidak rela kerusakan terjadi pada setiap lembaga dan instansi tersebut. Mereka para Imam Maksum as selalu menjaga rasa tanggungjawab, bersikap baik dan berinteraksi dengan cara yang semestina terhadap lembaga-lembaga tadi. Disisi lain, walaupun para pihak penguasa selalu merencanakan makar untuk membunuh, menangkap, menganiaya, dan membuat para Imam as kelaparan dll,  akan tetapi Imam Maksum as selalu tulus dalam menjaga kepentingan publik dan tatanan sosial umum.

            Telah saya sampaikan bukti-bukti dalil mengenai hal tersebut didalam kitab "Daur al-Aimmah Fi al-Hayat al-Islamiah", seperti kebijakan Imam Sajjad as dalam menentukan dan mencetak mata uang negara Islam serta menyerahkannya kepada Abdulmalik bin Marwan, peristiwa itu terjadi setelah adanya ancaman dari imperium Romawi, yang mana pada saat itu mata uang romawi sangat banyak tersebar ditengah-tengah masyarakat islam. Contoh lainnya adalah doa yang tulus dari Imam Sajjad as untuk para tentara yang ditempatkan diperbatasan negara Islam pada saat itu , dan juga contoh sikap dari Amirulmukminin as yang yang sering memberikan nasihat dan  bimbingan kepada para khalifah sebelumnnya, dan lain-lainnya dari bukti dan dalil sikap para Imam Maksum as terhadap keberadaan lembaga dan instansi pelayanan masyarakat.

            Karena pentingnya hukum-hukum aturan dalam kehidupan manusia ini, Pemilik syariat suci menjadikan fakih yang memenuhi seluruh syarat-syarat untuk memiliki wilayah atas segala urusan manusia, sebab seorang fakih lebih memiliki kapabilitas dalam menentukan sikap dan posisi yang benar karena dia memiliki keunggulan ilmu yang banyak dan mendalam, basirah yang tajam,  Integritas tinggi, pengalaman yang luas, kecerdasan dan rasionalitas yang mumpuni, dan telah kita katakan didalam pembahasan sebelumnya bahwa seorang fakih yang memenuhi seluruh syarat-syarat tersebut dapat mengevaluasi hasil mekanisme parlemen yang disebut sebagai proses demokrasi, dan padanya hak untuk mengkoreksi aturan dan ketentuan negara yang tidak sesuai dengan dasar-dasar kemanusiaan yang mulia melalui perintah, tuntutan, instruksi, arahan dan bimbingan, karena seorang fakih adalah pelindung, pemelihara, penjaga pertama kemaslahatan masyarakat dan negara. Jikalau misalnya pihak parlemen telah memutuskan sebuah aturan, akan tetapi seorang fakih memandang pada keputusan tersebut adanya ketidaksesuaian dan mengandung pelanggaran pada hak-hak umum masyarakat, maka fakih tersebut akan menolaknya, dan dia tidak bisa menjalankannya, meskipun keputusan itu telah diambil oleh suara terbanyak. Demikian pula halnya, seorang Faqih akan melakukan hal yang sama jikalau parlemen memutuskan suatu perkara untuk melebih-lebihkan hak istimewa bagi anggota parlemen dan pejabat negara, karena hal itu tidak dibenarkan oleh syariat, apalagi kalau ada usaha illegal untuk memonopoli harta kekayaan publik.